DEPOK, KOMPAS.com - Dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI) sekaligus anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini menilai, akan sulit bagi Mahkamah Konstitusi (MK) mengembalikan lagi kepercayaan publik, imbas inkonsistensi putusan syarat batas usia calon presiden dan calon wakil presiden yang telah diketok.
"Saya selalu mengatakan ini menjadi pil pahit yang harus kita semua telan dan saya merasa nampak sulit bagi MK untuk secara cepat memulihkan kredibilitas dan kepercayaan publik yang kadung terluka atas putusan itu," ujar Titi saat ditemui di Universitas Indonesia, Depok, Kamis (19/10/2023).
Baca juga: Putusan MK soal Batas Usia Capres-Cawapres Dinilai Langgar Etik
Bagaimana tidak, kata Titi, ada beragam spekulasi muncul setelah keputusan itu dibuat.
Termasuk politisasi yudisial alias politisasi dalam Mahkamah Konstitusi.
Sebab, MK dinilai tidak mampu membangun argumen kuat, mengapa ada dua perimbangan hukum seolah terpisah untuk satu substansi yang sama.
Di satu sisi MK memutuskan menolak gugatan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mengajukan gugatan usia calon presiden dan wakil presiden minimal 35 tahun.
Sementara di sisi lain, MK mengabulkan tuntutan mahasiswa Unsa bernama Almas Tsaqibbirru dengan membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden, selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
"Kita melihat bagaimana MK mempertontonkan inkonsistensinya secara gamblang, lalu kemudian tidak mampu membangun argumen yang kokoh, mengapa ada dua perimbangan hukum yang seolah-olah terpisah satu sama lain padahal untuk suatu substansi yang sama," kata Titi.
Baca juga: Jokowi Berpotensi Crash Landing jika Gibran Tetap Didorong Jadi Cawapres
Padahal, menurut Titi, jika keputusan ini diputus secara konsisten tentu akan menjadi angin segar bagi praktik Pemilu di Tanah Air, dengan memberi ruang keterlibatan yang lebih luas bagi orang-orang muda.
"Saya sendiri memandang bahwa dari sisi substansi sebenarnya kalau dia diputus secara konsisten, merupakan sebuah terobosan yang baik bagi praktik Pemilu dan demokrasi kita karena membuka ruang keterlibatan orang muda yang lebih luas," ucap dia.
Kenyataannya, putusan yang inkonsisten itu kini dianggap politis, karena dinilai hanya untuk mengakomodasi putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming, untuk mencalonkan diri di Pilpres 2024.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.