JAKARTA, KOMPAS.com - Warga RT 08/RW 12 Kelurahan Cipayung bernama Bachtiarudin Alam (26) menceritakan tentang masa-masa melelahkan saat menjadi petugas Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Cipayung, Jakarta Timur, dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019.
Pria yang akrab disapa Baba itu bertugas sebagai anggota PPK Cipayung selama enam bulan setelah mengikuti proses seleksi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jakarta Timur.
“Di PPK itu ada lima anggota. Saya itu yang membangun komunikasi kepada masyarakat, misalnya sosialisasi ke pemilih berkebutuhan khusus,” kata Baba saat dihubungi Kompas.com melalui sambungan telepon, Rabu (5/12/2023).
Baca juga: Gara-gara Pulang Subuh dan Bayaran Tak Sebanding, Winda Ogah Jadi Petugas KPPS Lagi
Selama enam bulan menjadi anggota PPK Cipayung, Baba menerima gaji pokok senilai Rp 1,5 juta setiap bulannya.
Kendati demikian, angka tersebut belum termasuk uang dinas ketika ada bimbingan teknis (Bimtek) atau pelatihan.
Kendati demikian, saat ditanya momen apa yang paling diingat, Baba justru masih terbayangkan bagaimana lelahnya menjadi anggota PPK.
“Apalagi mendekati hari pencoblosan. Ya menyiapkan alat peraga pencoblosan kayak kotak suara dan sebagainya. Ya kerja bisa dibilang 12 jam lebih. Bahkan, saya sampai menginap (di Kantor Kecamatan),” ungkap dia.
Baca juga: Cerita Winda Kapok Jadi Petugas KPPS, Tugasnya Terlalu Melelahkan pada Pemilu 2019
Kesulitan utama petugas PPK di Pemilu 2029 adalah memberikan pemahaman kepada masing-masing tim sukses (timses) Calon Legislatif atau dari masing-masing partai yang mengikuti penghitungan surat suara sampai tingkat kecamatan.
Pada Pemilu 2019, terdapat lima surat suara untuk Presiden dan Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
“Karena, di situ, enggak menutup kemungkinan, pada saat proses Pemilu serentak 2019 itu, banyak kesalahan yang terjadi di proses pemilihan untuk legislatif. Baik di tingkat DPRD maupun DPR RI,” ujar Baba.
“Kami komunikasikan kepada timses, kami jelaskan satu per satu, merekap bila ada perbedaan selisih angka, kita buka lagi surat suara dari awal, menghitung lagi apa yang salah. Ya begitulah,” katanya lagi.
Sementara itu pada hari pencoblosan, Baba baru bisa pulang ke rumah keesokan harinya karena saking padatnya kegiatan dan lamanya proses kegiatan penghitungan.
Baca juga: Pemprov DKI Diminta Segera Keluarkan Aturan untuk Jamin Kesehatan Petugas KPPS pada Pemilu 2024
“Saya menginap di GOR Cipayung, baru balik ke rumah besok Magrib. Ya karena kami menunggu kotak suara, banyak TPS yang baru mengembalikan kotak suara sampai pukul 03.00 WIB dini hari,” ungkap dia.
Hal-hal tersebut yang menyebabkan petugas kelelahan karena banyaknya surat suara, mengingat terselenggaranya Pemilu serentak.
Setelah hari pencoblosan, Baba baru bisa merebahkan badan dengan waktu yang panjang. Tapi, gejala tipes menyerang.
“Gejala tipes, punggung pegal, demam, sakit semua. Pas bangun tidur, saya kayak enggak bisa bangun gitu, napas sesak. Karena mungkin faktor saya yang selalu begadang, tidur kurang beberapa waktu terakhir itu,” imbuh Baba.
Beruntung juga, tidak ada gugatan yang masuk ke MK sehingga Baba bisa menyelesaikan tugasnya dengan aman dan lancar.
Tetapi, usai merasakan semuanya, Baba berpendapat bahwa honor yang diterima oleh para petugas baik Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan PPK sangat tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan.
“Belum lagi teman-teman petugas di daerah yang ada surat suara DPRD Kabupaten/Kota, itu bebannya sangat berat. Jadi kan ini sudah terlanjur pengin ada Pemilu serentak lagi di 2024, ya diperbanyak petugasnya,” pungkas Baba.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.