Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Balada Sapi-sapi Ibu Kota

Kompas.com - 30/06/2013, 09:22 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com
- Di sela gedung-gedung pencakar langit di pusat bisnis dan perkantoran Mega Kuningan, Jakarta Selatan, berdiri sejumlah kandang sapi perah. Inilah Jakarta, di mana segala sesuatu masih serba mungkin.

Sapi-sapi itu barangkali sapi-sapi yang ”bergaya hidup” paling urban di dunia. Mereka tinggal di salah satu jantung bisnis dan perkantoran paling mahal di Jakarta: kawasan Segitiga Emas Mega Kuningan, Jakarta Selatan.

Kandang mereka bertetangga dengan hotel mewah, seperti JW Marriott dan The Rizt-Carlton, yang jaraknya hanya sepelemparan batu. Di situ juga ada beberapa kantor kedutaan asing, mal, dan gedung perkantoran. Namun, letak kandang sapi itu tersembunyi di sebuah gang buntu di Jalan Perintis yang ramai oleh kendaraan dan lalu lalang karyawan kantor.

Siang itu kami mampir ke kandang milik Haji Mirdan (52). Mirdan sedang sibuk mengurus 40 ekor sapi miliknya dan milik kakaknya, Rido (53). Ia menyikat lantai semen kandang yang ternoda kotoran sapi. Ketika menggelontorkan air, aroma pesing kotoran sapi menusuk hidung. ”Habis kebanjiran semalam. Airnya sampai segini,” kata Mirdan sambil menunjuk lututnya.

Beternak sapi di belantara kota Jakarta, lanjut Mirdan, memang lebih repot daripada beternak di pedesaan. Ia harus siaga menghadapi banjir yang menerjang kandang. Ia juga harus melatih terlebih dahulu sapi-sapi yang baru didatangkan dari Jawa agar bisa beradaptasi dengan lingkungan Kuningan yang bising.

”Kalau sampi (sapi) yang lahir di sini, mah, kupingnya udah budek, enggak perlu adaptasi lagi. Jangan kata suara kendaraan, suara bom meledak di Marriott aja cuma bikin sampi kaget sebentar,” ujar Mirdan dengan logat Betawi kental.

Kerepotan lainnya adalah mencari rumput untuk pakan sapi. Mirdan dibantu Mukimin (53) yang bekerja sebagai pencari rumput sejak tahun 1982. Hari itu ia mencari rumput di tanah kosong persis di depan Hotel JW Marriott. Sesekali beberapa petugas satpam yang berjaga mengawasi Mukimin dari jauh. ”Mereka sudah tahu saya. Kalau saya masuk ke area kosong milik orang lain, paling penjaganya minta KTP dan duit rokok,” ujar Mukimin.

Kandang dan kos

Selain Mirdan, di kampung yang masuk wilayah Kuningan Timur itu terdapat empat peternak sapi yang masih bertahan. Salah seorang di antaranya Amir Hamzah (40) yang tinggal di sebuah rumah gedong bertingkat dua di Gang Eks AURI RT 004 RW 003. Dari luar, tidak ada tanda-tanda kandang sapi di rumah itu.

”Coba ente buka pintu itu,” ujar Amir sambil menunjuk pintu besi di samping rumahnya. Begitu pintu dibuka, terlihatlah 10 sapi berdiri berjejer. Tepat di belakang kandang sapi terdapat pabrik tahu yang ampasnya digunakan untuk pakan sapi.

Di atas kandang sapi, Amir membangun enam kamar kos untuk karyawan perempuan yang disewakan Rp 850.000-Rp 1 juta per bulan. Kamar-kamarnya bagus dan semuanya dilengkapi AC. ”Jadi, di sini ada dua (golongan) yang indekos. Di lantai bawah sampi yang indekos, di lantai atas manusia, ha-ha-ha.”

Sejauh ini, kata Amir, tidak ada anak kos yang komplain dengan bau sapi. Maklum, sebelum mereka bangun tidur, Amir telah membersihkan kandang dan memandikan sapi. Ketika mereka berangkat kerja, semua pekerjaan bersih-bersih sudah selesai. ”Nah, sebelum penghuni kos pulang kerja, sampi dan kandang dibersihkan lagi. Mereka enggak akan sempat mencium bau. Sampi mandi lima kali sehari, anak kos yang wangi-wangi itu cuma dua kali.”

Bagaimana dengan tetangga? Mereka, lanjut Amir, juga tidak komplain karena dulunya sama-sama peternak sapi. Kalau ada yang komplain, sudah pasti warga pendatang. ”Tapi, saya tinggal bilang, dibanding ente, sampi-sampi udah tinggal duluan di sini, ha-ha-ha,” ujar Amir yang mendapatkan peternakan sapi itu dari ayahnya.

Kawasan Kuningan dan sekitarnya dulu pernah menjadi sentra peternakan sapi perah di Jakarta. Tokoh senior Betawi, Irwan Syafi’i (81), yang sejak kecil tinggal di kawasan Setiabudi, menceritakan, sebelum masa revolusi kemerdekaan, ada dua pabrik susu milik Belanda, yaitu di Jalan Kawi dan Jalan Halimun yang tidak jauh dari Manggarai. Pabrik susu itu terintegrasi dengan peternakan sapi perah dan ladang rumput nan luas. ”Sapinya banyak banget. Saya dulu suka lihat-lihat peternakan sapi di situ,” katanya.

Menurut beberapa catatan, ada pula pabrik susu milik Belanda di Laan de Bruinschof yang sekarang bernama Tanah Abang III. Pabrik itu dikelola orang Belanda sekitar tahun 1930.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Dharma Pongrekun Unggah 840.640 Dukungan Warga DKI ke Silon, KPU: Syarat Minimal Terpenuhi

Dharma Pongrekun Unggah 840.640 Dukungan Warga DKI ke Silon, KPU: Syarat Minimal Terpenuhi

Megapolitan
Istri Oknum Pejabat Kemenhub Akui Suaminya Ucap Sumpah Sambil Injak Kitab Suci

Istri Oknum Pejabat Kemenhub Akui Suaminya Ucap Sumpah Sambil Injak Kitab Suci

Megapolitan
Polisi Tangkap Pelaku Tabrak Lari di Gambir yang Sebabkan Ibu Hamil Keguguran

Polisi Tangkap Pelaku Tabrak Lari di Gambir yang Sebabkan Ibu Hamil Keguguran

Megapolitan
Polisi Akan Datangi Rumah Pemilik Fortuner yang Halangi Perjalanan Ambulans di Depok

Polisi Akan Datangi Rumah Pemilik Fortuner yang Halangi Perjalanan Ambulans di Depok

Megapolitan
Polisi Selidiki Kasus Penistaan Agama yang Diduga Dilakukan Oknum Pejabat Kemenhub

Polisi Selidiki Kasus Penistaan Agama yang Diduga Dilakukan Oknum Pejabat Kemenhub

Megapolitan
Viral Video Perundungan Pelajar di Citayam, Korban Telepon Orangtua Minta Dijemput

Viral Video Perundungan Pelajar di Citayam, Korban Telepon Orangtua Minta Dijemput

Megapolitan
Curhat Warga Rawajati: Kalau Ada Air Kiriman dari Bogor, Banjirnya kayak Lautan

Curhat Warga Rawajati: Kalau Ada Air Kiriman dari Bogor, Banjirnya kayak Lautan

Megapolitan
Heru Budi Bakal Lanjutkan Pelebaran Sungai Ciliwung, Warga Terdampak Akan Didata

Heru Budi Bakal Lanjutkan Pelebaran Sungai Ciliwung, Warga Terdampak Akan Didata

Megapolitan
Ibu Hamil Jadi Korban Tabrak Lari di Gambir, Kandungannya Keguguran

Ibu Hamil Jadi Korban Tabrak Lari di Gambir, Kandungannya Keguguran

Megapolitan
Jawab Kritikan Ahok Soal Penonaktifan NIK KTP, Heru Budi: Pemprov DKI Hanya Menegakkan Aturan

Jawab Kritikan Ahok Soal Penonaktifan NIK KTP, Heru Budi: Pemprov DKI Hanya Menegakkan Aturan

Megapolitan
Paus Fransiskus ke Indonesia September 2024, KWI: Bawa Pesan Persaudaraan Umat Manusia

Paus Fransiskus ke Indonesia September 2024, KWI: Bawa Pesan Persaudaraan Umat Manusia

Megapolitan
Diterima Jadi Polisi, Casis Bintara Korban Begal: Awalnya Berpikir Saya Gagal

Diterima Jadi Polisi, Casis Bintara Korban Begal: Awalnya Berpikir Saya Gagal

Megapolitan
Polisi Kantongi Identitas Pengemudi Fortuner yang Halangi Laju Ambulans di Depok

Polisi Kantongi Identitas Pengemudi Fortuner yang Halangi Laju Ambulans di Depok

Megapolitan
Dapat Ganti Untung Normalisasi Ciliwung, Warga Rawajati Langsung Beli Rumah Baru

Dapat Ganti Untung Normalisasi Ciliwung, Warga Rawajati Langsung Beli Rumah Baru

Megapolitan
Tak Gentarnya Jukir Liar di Minimarket, Masih Nekat Beroperasi meski Baru Ditertibkan

Tak Gentarnya Jukir Liar di Minimarket, Masih Nekat Beroperasi meski Baru Ditertibkan

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com