Karena ada peternakan besar, lanjut Irwan, orang-orang Betawi yang secara ekonomi cukup bagus ikut memelihara sapi tiga-lima ekor. Kebanyakan dari mereka juga mendirikan pabrik tahu karena ampasnya bisa digunakan untuk pakan. Lama-kelamaan, memelihara sapi jadi tren. Maka, muncullah peternakan sapi rakyat di Kuningan, Karet Bivak, sampai Mampang. ”Susu hasil peternakan rakyat ini kebanyakan dijual ke orang-orang (berkulit) putih yang tinggal di Menteng.”
Kalau sekarang, kata Mirdan, pelanggan susu kebanyakan ibu rumah tangga, pengelola kafe, dan warung soto betawi.
Pasca-Revolusi 1945, peternakan sapi dan pabrik susu Belanda habis semua. Yang tersisa tinggal peternakan sapi perah milik rakyat. Peternakan rakyat itu mencapai masa keemasan pada era 1970 dan 1980-an. Saking banyaknya peternak sapi perah, ada sebuah gang yang diberi nama Gang Susu. ”Babe saya aja dulu punya 60 sampi, yang diwarisin ke saya tinggal 10,” kata Amir Hamzah (40).
Akhir masa keemasan
Masa keemasan itu berakhir ketika kawasan Kuningan ditetapkan sebagai kawasan bisnis. Mulai tahun 1990, Pemerintah DKI Jakarta merelokasi peternak ke Pondok Rangon, Jakarta Timur. ”Harga tanah peternak di Kuningan dihargai 24 kali harga tanah di Pondok Rangon. Babe saya juga beli,” kata Amir.
Relokasi dilakukan bertahap. Tahun 1991 tercatat ada 70 peternak dengan 900 ekor sapi di Kuningan yang pindah ke Pondok Rangon. Tanah bekas peternakan di Kuningan Timur yang mencapai 68 hektar diubah jadi perkantoran, hotel, mal, dan kompleks kedutaan besar negara asing. Itu sebabnya wilayah itu juga disebut kawasan antarbangsa.
Di pinggir-pinggir gedung bertingkat tumbuh permukiman penduduk yang sangat padat. Di sanalah Mirdan, Hamzah, dan tiga peternak sapi perah lainnya mencoba bertahan. Mirdan mengatakan, banyak pihak yang mengincar peternakannya yang terletak tidak jauh dari batas pagar Mega Kuningan. ”Tapi, harganya belum cocok,” ujar Mirdan.
Hamzah berkata hal yang sama. ”Saya, sih, sudah beli tanah di Pondok Rangon. Jadi, kalau sewaktu-waktu harus pindah, saya bisa bikin peternakan di sana.”
Apa yang membuat mereka bertahan? Secara ekonomi, beternak sapi perah di Jakarta kini tidak memberi banyak keuntungan. Mirdan mengatakan, setiap hari dia hanya memperoleh uang Rp 360.000 dari penjualan susu segar. Setelah dipotong upah tukang rumput Rp 30.000 dan biaya pakan, uang yang ia pegang kurang dari setengahnya.
Meski begitu, Mirdan bertekad akan terus beternak sapi untuk menjalankan amanat babenya. ”Babe bilang, kalau mau hidup tenang, harus pelihara sampi. Sampi membuat kita sampe ke tujuan dan cita-cita kita. Berkat sampi babe saya, misalnya, sampe naik haji, sampe nyekolahin anak. Pokoknya sampe, daaaah.” (Sugihandari/Litbang)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.