JAKARTA, KOMPAS.com — PT Transportasi Jakarta masih membenahi kerja sama dengan operator kopaja dan bus angkutan perbatasan terintegrasi bus transjakarta. Rumusan kerja sama ini diharapkan bisa memudahkan penumpang, baik dari sisi pembayaran tiket, pengangkutan penumpang, maupun rute pelayanan.
Direktur Utama PT Transportasi Jakarta ANS Kosasih mengharapkan, integrasi bisa terwujud April mendatang. ”Nantinya, penumpang hanya membayar satu tiket. Mereka bisa menggunakan bus apa pun, termasuk yang dioperasikan kopaja atau angkutan perbatasan terintegrasi bus transjakarta (APTB),” katanya saat peresmian penggunaan tiket elektronik di semua koridor transjakarta, Sabtu (21/2).
Saat ini, penumpang kopaja atau APTB yang menunggu di halte transjakarta harus membayar dua tiket, yakni tiket transjakarta saat memasuki halte bus dan tarif kopaja/APTB saat berada di dalam bus.
Kepala Bidang Angkutan Darat Dinas Perhubungan DKI Jakarta Emanuel Kristanto, Minggu (22/2), membenarkan adanya program integrasi tiket tersebut. Ia menambahkan, pihaknya masih menunggu kesiapan PT Transportasi Jakarta menerapkan integrasi.
Dengan adanya integrasi, ada beberapa standar pelayanan yang harus dipenuhi operator bus, antara lain pengemudi tak boleh ugal-ugalan dan pendingin ruangan (AC) harus beroperasi baik. Integrasi ini diharapkan bisa menambah jumlah armada di koridor yang masih kekurangan bus sehingga waktu tunggu bisa dipangkas.
Di lapangan, sampai akhir pekan lalu, penumpang tujuan Pulogadung yang menunggu di Halte Monas, Balai Kota, dan Gambir acap kali harus menunggu bus hingga 1 jam. Kondisi serupa juga terjadi di Halte Dukuh Atas 2. Antrean penumpang tujuan Pulogadung mengular hingga puluhan meter.
Kosasih mengakui, ketersediaan bus menjadi persoalan. Sekitar 10 persen dari 460-an bus yang beroperasi sudah tidak layak jalan. ”Bus ini kami paksakan jalan. Kalau tidak, waktu tunggu bus makin lama dan penumpang protes,” katanya.
Kosasih menambahkan, kopaja dan APTB yang terintegrasi transjakarta diharuskan melaju di busway yang telah ditentukan. ”Mereka masuk dari satu halte, berkeliling di jalur transjakarta, lalu keluar jalur di halte yang sama,” katanya.
Kosasih juga membuka kemungkinan adanya rute khusus yang merupakan perpotongan dari koridor yang ada. Langkah ini ditempuh agar penumpang tak banyak berpindah bus.
Terkait penerapan tiket elektronik di semua koridor transjakarta saat ini, warga berharap agar tiket satu kali perjalanan (single trip) tetap disediakan.
Marti (49), warga Bekasi yang baru saja berbelanja di Thamrin City, misalnya, terpaksa membayar tiket bus secara tunai kepada penumpang lain di Halte Sarinah, Jakarta Pusat, Minggu, karena kartu uang elektroniknya tertinggal di rumah.
”Baru, deh, saat mau pulang jadi bingung. Masuk halte harus menggunakan kartu uang elektronik,” katanya.
Ebel (23), penumpang lain, menilai sistem tiket elektronik ini merugikan warga yang tidak mampu. Calon penumpang yang belum memiliki kartu uang elektronik kini diharuskan membeli kartu tersebut di loket seharga Rp 40.000, dengan rincian harga kartu Rp 20.000 dan saldo Rp 20.000. ”Sistem ini kan sudah otomatis, jadi yang duitnya kurang dari Rp 40.000, ya, tidak bisa naik bus transjakarta,” ujarnya.
Dia mengakui sistem ini bagus untuk membantu warga Jakarta tak berbelit-belit dan mengantre membeli tiket secara manual. ”Tiket elektronik ini sudah bagus, hanya terlalu mahal, bagaimana dengan orang-orang yang tak kerja seperti saya ini,” ujarnya.
Komuter bertambah