JAKARTA, KOMPAS.com - Situasi yang dialami oleh bakal cagub DKI Yusril Ihza Mahendra memang sedikit unik. Dalam jabatan struktural partai, Yusril merupakan ketua umum di Partai Bulan Bintang (PBB). Namun, dia lebih memilih untuk merapatkan diri ke partai-partai besar untuk bisa melancarkan niatnya menjadi calon gubernur.
Sejumlah pimpinan partai politik sudah dia temui. Misalnya saja Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Soebianto.
Yusril juga bersafari untuk menemui pimpinan partai di tingkat Provinsi DKI Jakarta. (Baca: Gerindra: Yusril yang Pro-aktif Daftar Cagub )
Perkembangan paling akhir, Yusril sudah mengambil formulir pendaftaran untuk masuk ke bursa cagub Partai Gerindra.
Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio, menganggap wajar hal itu. Sebab, partai yang dipimpin Yusril memang partai yang tidak memiliki satu pun kursi di DPRD DKI.
"Karena dia memang tidak bisa mencalonkan diri dari partainya, enggak punya kursi kan," ujar Hendri ketika dihubungi, Kamis (31/3/2016).
Hendri mengatakan mungkin saja Yusril bersafari ke partai partai dengan kapasitasnya sebagai tokoh masyarakat, bukan ketua parpol. Namun, jabatan ketua parpol mau tidak mau terlanjur melekat pada dirinya.
Kondisi ini secara otomatis menimbulkan kesan bahwa partai Yusril sendiri sedang krisis dan membuat dia mencari partai yang mau mencalonkannya.
"Kemudian apakah itu salah? Enggak salah dan enggak melanggar juga sebenarnya," ujar Hendri.
Momentum
Jika partainya saja tidak bisa dibuat sukses, kenapa Yusril tidak membenahi partainya dulu? Sampai-sampai Yusril harus medatangi ketua umum partai-partai lain untuk meminta restu. Hendri mengatakan apa yang membuat Yusril mau sedikit "merendah" seperti ini adalah karena momentum.
Hendri mengatakan saat ini dinilai menjadi momentum tepat bagi Yusril jika ingin maju menjadi calon gubernur DKI. Oleh karena itu, Yusril akan mencari cara agar dia bisa dicalonkan.
"Sekarang ini mungkin momentum paling tepat bagi Yusril buat maju. Saya rasa dia juga sangat berat hati, agak menurunkan image partainya dengan mendekat ke parpol lain. Tapi apa boleh buat kan," ujar Hendri.
Bicara soal momentum, Hendri mengatakan situasi yang sama juga pernah terjadi dengan tokoh politik lain. Misalnya saja Jokowi ketika akan maju menjadi presiden RI.
Saat itu memang menjadi momentum bagi Jokowi untuk maju. Jika Jokowi memilih tidak maju dan baru maju pada pilpres selanjutnya, belum tentu dia mendapatkan dukungan sebesar tahun 2014.
Hendri mengatakan Yusril berkorban beberapa hal demi memanfaatkan momentumnya menjadi pesaing Ahok. Meskipun harus mengorbankan partai dan statusnya sebagai ketua umum.
"Kader PBB mungkin juga mempertanyakan hal ini. Tapi ya itu lah, Yusril sedang memanfaatkan momentumnya," ujar dia.