Siang menyengat di Muara Angke, Jakarta Utara. Beberapa nelayan santai di kapal menunggu waktu melaut. Berjarak lebih dari 200 meter di depan, ada pulau pasir terhampar. Kosong. Pulau reklamasi.
Pulau itu, bersama tiga pulau lain yang telah terbentuk, serta 13 pulau yang masih dalam rencana, hingga saat ini dalam proses rumit. Pemerintah membentuk tim komite gabungan untuk mengevaluasi reklamasi, tetapi malah semakin sengkarut.
Setelah pemerintah melalui Kementerian Koordinator Maritim membatalkan 14 pulau, saat ini pemerintah mengevaluasi kembali dan menyerahkan koordinasi ke Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
"Kami sudah meminta hasil evaluasi itu, tetapi belum ada tanggapan. Kami khawatir reklamasi dibawa ke arah yang semakin tidak jelas," kata Rayhan Dudayev, peneliti Indonesia Center for Environmental Center, Senin (22/8/2016).
Lembaga ini masuk dalam Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta yang menggugat empat pulau reklamasi.
Kajian pemerintah, tambah Rayhan, penting untuk dibuka ke publik agar semua pihak mengetahui variabel pengambilan keputusan. Proses yang berjalan kini pun seharusnya bisa diikuti publik. Akan tetapi, kenyataannya malah semakin tertutup.
Ahli oseanografi dari Institut Pertanian Bogor, Alan Koropitan, pekan lalu, mengungkapkan, reklamasi sebenarnya sudah jelas tidak memenuhi syarat, baik dari aspek sosial, ekonomi, maupun lingkungan. Apalagi, kajian Danish Hydraulic Institute pada 2011 memberikan gambaran dampak buruk reklamasi.
Reklamasi di wilayah Teluk Jakarta disahkan dengan Keputusan Presiden Nomor 52/1995. Keppres ini adalah beberapa keputusan yang ditandatangani Presiden Soeharto sebelum lengser. Reklamasi di Teluk Jakarta dimaksudkan untuk menata kawasan utara sebagai kawasan andalan. Kawasan yang dinilai strategis dari sudut ekonomi dan perkembangan kota.
"Sejak awal, reklamasi itu ditujukan untuk kecukupan lahan. Bukan berkaitan dengan perbaikan lingkungan. Justru semakin memperburuk karena ada persoalan lahan yang terjadi di Jakarta sebagai implikasi pembangunan yang terpusat," kata Alan.
Menurut dia, dari 1970 hingga 2004 telah terjadi konversi vegetasi di wilayah Jakarta yang mencapai angka 80 persen.
Dengan kondisi seperti itu, lanjutnya, solusinya bukan dengan menambah ruang di laut sebab akan semakin merusak vegetasi di laut yang bertahun-tahun juga telah terdampak pembangunan.
Jalan yang mungkin adalah restorasi. Restorasi dilakukan dalam waktu jangka yang panjang dan ditujukan untuk memperbaiki kondisi teluk sekaligus manajemen pengelolaan air.
Melihat Belanda
"Motivasinya (reklamasi di Teluk Jakarta) sedari awal adalah aspek ekonomi. Hal ini berbeda dengan di Florida, Amerika Serikat, yang ingin mengembalikan fungsi lahan. Itu pun mereka mengambil pasir tidak dari laut yang dangkal sehingga tidak terjadi perubahan arus," kata Alan.
"Di Belanda dalam rangka mitigasi sekaligus mengembalikan rawa yang jadi laut. Mereka merencanakan detail, juga sangat berhati-hati." tambahnya.