Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Muara Angke ke Lelystaad

Kompas.com - 23/08/2016, 15:31 WIB

Siang menyengat di Muara Angke, Jakarta Utara. Beberapa nelayan santai di kapal menunggu waktu melaut. Berjarak lebih dari 200 meter di depan, ada pulau pasir terhampar. Kosong. Pulau reklamasi.

Pulau itu, bersama tiga pulau lain yang telah terbentuk, serta 13 pulau yang masih dalam rencana, hingga saat ini dalam proses rumit. Pemerintah membentuk tim komite gabungan untuk mengevaluasi reklamasi, tetapi malah semakin sengkarut.

Setelah pemerintah melalui Kementerian Koordinator Maritim membatalkan 14 pulau, saat ini pemerintah mengevaluasi kembali dan menyerahkan koordinasi ke Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

"Kami sudah meminta hasil evaluasi itu, tetapi belum ada tanggapan. Kami khawatir reklamasi dibawa ke arah yang semakin tidak jelas," kata Rayhan Dudayev, peneliti Indonesia Center for Environmental Center, Senin (22/8/2016).

Lembaga ini masuk dalam Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta yang menggugat empat pulau reklamasi.

Kajian pemerintah, tambah Rayhan, penting untuk dibuka ke publik agar semua pihak mengetahui variabel pengambilan keputusan. Proses yang berjalan kini pun seharusnya bisa diikuti publik. Akan tetapi, kenyataannya malah semakin tertutup.

Ahli oseanografi dari Institut Pertanian Bogor, Alan Koropitan, pekan lalu, mengungkapkan, reklamasi sebenarnya sudah jelas tidak memenuhi syarat, baik dari aspek sosial, ekonomi, maupun lingkungan. Apalagi, kajian Danish Hydraulic Institute pada 2011 memberikan gambaran dampak buruk reklamasi.

Reklamasi di wilayah Teluk Jakarta disahkan dengan Keputusan Presiden Nomor 52/1995. Keppres ini adalah beberapa keputusan yang ditandatangani Presiden Soeharto sebelum lengser. Reklamasi di Teluk Jakarta dimaksudkan untuk menata kawasan utara sebagai kawasan andalan. Kawasan yang dinilai strategis dari sudut ekonomi dan perkembangan kota.

"Sejak awal, reklamasi itu ditujukan untuk kecukupan lahan. Bukan berkaitan dengan perbaikan lingkungan. Justru semakin memperburuk karena ada persoalan lahan yang terjadi di Jakarta sebagai implikasi pembangunan yang terpusat," kata Alan.

Menurut dia, dari 1970 hingga 2004 telah terjadi konversi vegetasi di wilayah Jakarta yang mencapai angka 80 persen.

Dengan kondisi seperti itu, lanjutnya, solusinya bukan dengan menambah ruang di laut sebab akan semakin merusak vegetasi di laut yang bertahun-tahun juga telah terdampak pembangunan.

Jalan yang mungkin adalah restorasi. Restorasi dilakukan dalam waktu jangka yang panjang dan ditujukan untuk memperbaiki kondisi teluk sekaligus manajemen pengelolaan air.

Melihat Belanda

"Motivasinya (reklamasi di Teluk Jakarta) sedari awal adalah aspek ekonomi. Hal ini berbeda dengan di Florida, Amerika Serikat, yang ingin mengembalikan fungsi lahan. Itu pun mereka mengambil pasir tidak dari laut yang dangkal sehingga tidak terjadi perubahan arus," kata Alan.

"Di Belanda dalam rangka mitigasi sekaligus mengembalikan rawa yang jadi laut. Mereka merencanakan detail, juga sangat berhati-hati." tambahnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kasus Perundungan Siswi SMP di Bogor, Polisi Upayakan Diversi

Kasus Perundungan Siswi SMP di Bogor, Polisi Upayakan Diversi

Megapolitan
Disdik DKI Akui Kuota Sekolah Negeri di Jakarta Masih Terbatas, Janji Bangun Sekolah Baru

Disdik DKI Akui Kuota Sekolah Negeri di Jakarta Masih Terbatas, Janji Bangun Sekolah Baru

Megapolitan
Polisi Gadungan yang Palak Warga di Jaktim dan Jaksel Positif Sabu

Polisi Gadungan yang Palak Warga di Jaktim dan Jaksel Positif Sabu

Megapolitan
Kondisi Siswa SMP di Jaksel yang Lompat dari Lantai 3 Gedung Sekolah Sudah Bisa Berkomunikasi

Kondisi Siswa SMP di Jaksel yang Lompat dari Lantai 3 Gedung Sekolah Sudah Bisa Berkomunikasi

Megapolitan
Polisi Gadungan di Jaktim Palak Pedagang dan Warga Selama 4 Tahun, Raup Rp 3 Juta per Bulan

Polisi Gadungan di Jaktim Palak Pedagang dan Warga Selama 4 Tahun, Raup Rp 3 Juta per Bulan

Megapolitan
Pelajar dari Keluarga Tak Mampu Bisa Masuk Sekolah Swasta Gratis Lewat PPDB Bersama

Pelajar dari Keluarga Tak Mampu Bisa Masuk Sekolah Swasta Gratis Lewat PPDB Bersama

Megapolitan
Dua Wilayah di Kota Bogor Jadi 'Pilot Project' Kawasan Tanpa Kabel Udara

Dua Wilayah di Kota Bogor Jadi "Pilot Project" Kawasan Tanpa Kabel Udara

Megapolitan
Keluarga Korban Begal Bermodus 'Debt Collector' Minta Hasil Otopsi Segera Keluar

Keluarga Korban Begal Bermodus "Debt Collector" Minta Hasil Otopsi Segera Keluar

Megapolitan
Masih di Bawah Umur, Pelaku Perundungan Siswi SMP di Bogor Tak Ditahan

Masih di Bawah Umur, Pelaku Perundungan Siswi SMP di Bogor Tak Ditahan

Megapolitan
Polisi Gadungan di Jaktim Tipu Keluarga Istri Kedua Supaya Bisa Menikah

Polisi Gadungan di Jaktim Tipu Keluarga Istri Kedua Supaya Bisa Menikah

Megapolitan
Ini Berkas yang Harus Disiapkan untuk Ajukan Uji Kelayakan Kendaraan 'Study Tour'

Ini Berkas yang Harus Disiapkan untuk Ajukan Uji Kelayakan Kendaraan "Study Tour"

Megapolitan
Siswa SMP Lompat dari Gedung Sekolah, Polisi: Frustasi, Ingin Bunuh Diri

Siswa SMP Lompat dari Gedung Sekolah, Polisi: Frustasi, Ingin Bunuh Diri

Megapolitan
5 Tahun Diberi Harapan Palsu, Sopir Angkot di Jakut Minta Segera Diajak Gabung ke Jaklingko

5 Tahun Diberi Harapan Palsu, Sopir Angkot di Jakut Minta Segera Diajak Gabung ke Jaklingko

Megapolitan
Seorang Perempuan Luka-luka Usai Disekap Dua Pria di Apartemen Kemayoran

Seorang Perempuan Luka-luka Usai Disekap Dua Pria di Apartemen Kemayoran

Megapolitan
Korban Begal Bermodus 'Debt Collector' di Jaktim Ternyata Tulang Punggung Keluarga

Korban Begal Bermodus "Debt Collector" di Jaktim Ternyata Tulang Punggung Keluarga

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com