JAKARTA, KOMPAS.com - Perjalanan sidang kasus kematian Wayan Mirna Salihin di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat seakan-akan memasuki babak baru. Jika keterangan saksi sebelumnya menyatakan Mirna meninggal keracunan sianida, dua saksi ahli dari pihak terdakwa Jessica Kumala Wongso yang telah memberi keterangan di hadapan majelis hakim, berpendapat sebaliknya.
Kedua saksi tersebut adalah ahli patologi forensik asal Brisbane, Australia, Profesor Beng Beng Ong dan ahli kedokteran forensik Universitas Indonesia, dr Djaja Surya Atmadja. Keilmuan mereka sama-sama diakui di mata internasional dunia kedokteran dan sama-sama berpengalaman dalam puluhan, bahkan ratusan kali menentukan sebab kematian seseorang melalui otopsi jenazah.
Kesaksian Ong pada persidangan hari Senin (5/9/2016) menyatakan Mirna tidak mengalami keracunan sianida. Hal itu dikarenakan hasil tes racun atau toksikologi Mirna sendiri tidak menunjukkan tanda orang keracunan sianida.
Menurut Ong, seseorang dikatakan meninggal karena keracunan sianida jika ada kandungan sianida di hampir seluruh organ tubuh, yang meliputi empedu, hati, cairan lambung, dan sampel lambung itu sendiri.
Dalam kasus Mirna, sianida hanya ditemukan sebesar 0,2 miligram per liter di sampel lambung, sehingga dianggap tidak cukup untuk menyimpulkan penyebab kematian akibat sianida.
"Apalagi ada kemungkinan sianida itu timbul karena perubahan pasca-kematian itu sendiri, semacam reaksi kimia dalam tubuh. Kalau mau menentukan apa penyebab kematiannya, harus diotopsi secara menyeluruh. Malah, menurut saya, penyebab kematian korban bisa jadi karena hal lain, tapi jelas bukan karena sianida," kata Ong.
Sejumlah pendapat Ong didukung dan ditambah oleh kesaksian Djaja pada sidang lanjutan yang digelar Rabu (7/9/2016). Djaja pun, sebagai pakar yang mendalami tentang insektisida dan sianida, menyebutkan Mirna tidak mati karena keracunan sianida.
"Ini tidak bisa disimpulkan begitu, yang mulia. Hasil toksikologi yang menunjukkan 0,2 miligram per liter sianida dalam lambung Mirna pun kecil sekali, hampir tidak ada artinya. Sianida ada di sekeliling kita, orang merokok sianida yang masuk ke tubuh lebih besar dari itu. Saya yakin Mirna mati bukan karena sianida, tapi karena keracunan, iya. Keracunan apa, saya tidak tahu, karena tidak otopsi," tutur Djaja.
Djaja merupakan dokter forensik yang sempat ditugaskan memberi formalin ke tubuh Mirna. Sebagai orang yang melihat langsung kondisi jenazah Mirna, Djaja yakin, Mirna mengalami kematian tidak wajar akibat keracunan.
Namun, tanda-tanda keracunan sianida yang paling sederhana, seperti bau almond pahit, tidak tercium sama sekali.
"Korban ini masih muda. Meninggalnya juga setelah dia minum kopi, itu sudah pasti kematian tidak wajar, kemungkinan besar diracun. Tapi, bukan karena sianida. Kalau keracunan sianida, di lambung itu akan ditemukan sianida dalam jumlah besar, ini kan tidak. Lebih pasti lagi sebenarnya kalau ada pemeriksaan luar dalam alias otopsi," ujar Djaja.
Keterangan Ong dan Djaja berbeda jauh dengan saksi ahli yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum dalam sidang-sidang sebelumnya. Mereka justru berpendapat Mirna meninggal akibat keracunan sianida dari temuan sianida di sampel lambung yang dihubungkan dengan kadar sianida di es kopi vietnam.
Selain itu, pendapat tentang meninggal akibat sianida turut diperkuat oleh gejala-gejala yang dialami Mirna, seperti kejang-kejang, kesulitan bernafas, hingga mulut yang mengeluarkan busa.
Sidang kasus pembunuhan Mirna masih akan dilanjutkan pada Rabu (14/9/2016) mendatang. Agenda persidangan masih sama, yaitu mendengarkan keterangan saksi meringankan dari pihak Jessica.