Ekstraksi berlebihan air bawah tanah di DKI Jakarta menghilangkan potensi pajak hingga miliaran rupiah. Namun, lebih dari itu, tanpa disadari sebagian besar orang, dampak lingkungannya sudah makin besar. Muka air tanah terus turun, berkelindan dengan terjadinya amblesan.
Akhir September di Muara Baru, Jakarta Utara. Warga melintas di sebuah jalan kecil yang berhadapan dengan tanggul setinggi hampir 2 meter. Di seberang tanggul, air laut berkecipak. Hanya ada jarak 20 sentimeter antara muka air laut dan puncak tanggul.
Sebagian wilayah Jakarta saat ini memang jauh lebih rendah dibandingkan dengan permukaan laut. Di beberapa titik di Jakarta Utara, permukaan tanah daratan Jakarta telah turun lebih dari 1 meter dalam beberapa tahun.
Dari sejumlah penelitian, wilayah utara Jakarta memang terus turun karena faktor alamiah. Lapisan tanah yang terdiri dari endapan lunak terus mengalami kompaksi. Meski demikian, ekstraksi berlebihan terhadap air bawah tanah diyakini juga mendorong penurunan tanah semakin cepat.
Penelitian yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan beberapa peneliti Jepang pada periode 2005-2011 menemukan, muka air tanah telah turun sangat jauh dibandingkan dengan tahun 1980-an.
Hasil penelitian itu menunjukkan, muka air tanah di Jakarta terbagi atas tiga kelompok, yaitu tetap stabil pada jangka panjang, menurun dalam periode waktu yang panjang, dan menurun dengan sangat cepat. Kecenderungan menurun dengan sangat cepat terjadi di bagian tengah Jakarta Pusat.
Rachmat Fajar Lubis dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, yang ikut dalam penelitian tersebut, menuturkan, penelitian dilakukan dengan melihat muka air tanah dari sumur pantau. Pantauan itu menunjukkan keselarasan antara penurunan muka air tanah dan terjadinya amblesan daratan. Itu terutama terjadi di wilayah pusat Jakarta, dengan kondisi air tanah yang masih lumayan baik.
”Dari penelitian itu, jika dilakukan permodelan, penurunan muka air tanah akan semakin parah dari tahun ke tahun. Pada 2030 muka air tanah akan turun hingga minus 60 meter. Tentunya permukaan tanah juga akan semakin ambles karena ada keselarasan,” kata Fajar, Rabu (19/10).
Butuh upaya serius
Akan tetapi, tambahnya, jika dilakukan perbaikan, muka air tanah bisa kembali normal seperti 1985. Karena itu, diperlukan upaya serius dan berkesinambungan dalam mengendalikan pemakaian air tanah. Yang paling penting, ada upaya untuk segera memenuhi kebutuhan air bersih warga dari sumber lain.
Saat ini, pasokan air bersih di DKI Jakarta masih defisit 9.100 liter per detik. Pada 2015, permintaan air bersih berada di angka 26.100 liter per detik. Namun, pasokan air baru bisa mencapai 17.000 liter per detik.
Selisih ini hanya dapat dipenuhi jika pasokan air baku dan fasilitas pengolahan air ditambah. Jaringan air perpipaan diklaim telah memasok sekitar 80 persen wilayah Jakarta. Namun, layanan air bersih baru bisa dinikmati sekitar 60 persen dari total sekitar 10 juta warga.
Data Dinas Tata Air DKI pada Juli 2016 menunjukkan, pemakai air tanah terbesar adalah kelompok pelanggan niaga besar, yakni mencapai 1.703 pelanggan. Kelompok niaga besar itu meliputi apartemen, hotel bintang 4 dan 5, real estat, bengkel besar, dan bank.
Meski begitu, jumlah pemakaian yang tercatat setiap bulan ditengarai masih jauh dari angka sebenarnya. Penelitian LIPI, yang disajikan dalam buku Ancaman Bawah Permukaan Jakarta, menunjukkan pengambilan air tanah yang dilaporkan jauh lebih kecil daripada jumlah air tanah riil yang diambil.
Guru Besar Hidrogeologi Institut Teknologi Bandung Lambok M Hutasoit menyampaikan, penelitian yang ia lakukan awal 2.000-an menunjukkan hal yang sama. Di wilayah Kamal Muara, Jakarta Utara, debit air yang tercatat hanya 5-10 persen dari jumlah yang sebenarnya diambil. ”Jumlah sumur di bawah tanah mungkin sudah sangat banyak. Karena itu, seharusnya dilakukan penelitian menyeluruh jumlah sumur, membuat analisis pemakaian, serta upaya pengendalian air bawah tanah,” kata Lambok, September.
Dedi Krusfian, Kepala Bidang Air Bawah Tanah dan Air Baku Dinas Tata Air DKI, mengaku pihaknya telah melakukan banyak penutupan sumur-sumur ilegal yang ditemukan.
Akan tetapi, lanjut Dedi, pihaknya juga kewalahan dengan jumlah pegawai yang jauh dari cukup. (Saiful Rijal Yunus)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Oktober 2016, di halaman 26 dengan judul "Sebelum Jakarta Semakin Ambles...".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.