Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Sedih dan Harapan Mengalir dari Tepi Sungai

Kompas.com - 03/03/2017, 18:00 WIB

Mata Samsul (50) berkaca-kaca saat berusaha menenangkan anak bungsunya yang berumur 1,5 tahun. Bocah itu merengek minta susu. Sementara, tak serupiah pun ada di kantongnya.

Lelaki asal Desa Rancakpanggung, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, itu tak lagi bekerja. Sendirian ia mengasuh lima anaknya.

Istrinya, Widaningsih, berada di penampungan Konjen RI di Dubai, Uni Emirat Arab. Ia menunggu dana agar bisa pulang ke Indonesia setelah jadi korban sindikat penipuan tenaga kerja wanita.

Samsul berangkat ke Jakarta bersama kelima anaknya untuk mengadukan nasib istrinya ke Kementerian Luar Negeri serta Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.

Sambil menunggu kejelasan nasib istrinya, Samsul dan anak- anak menggelandang di Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur. "Saya tak punya uang untuk sewa kamar," katanya, akhir Februari lalu.

Ia lalu ditampung Raden Supardi alias Nur (45), pedagang kelontong yang juga pendiri rumah singgah Al Barkah. Samsul sekeluarga disewakan kamar petak di seputar terminal.

Sekitar 1,5 bulan terakhir, anak-anak Samsul ikut bersekolah di rumah singgah Al Barkah. Bangunan rumah singgah yang terbuat dari kayu itu berdiri di tepian Sungai Cipinang, tepatnya yang mengalir di sisi Terminal Kampung Rambutan. Anak-anak Samsul pun mulai akrab dengan Sungai Cipinang.

"Sebagian besar anak yang belajar di sini adalah anak-anak yang orangtuanya bekerja di terminal. Ada juga anak yang ditinggal orangtuanya jadi TKI. Macam-macamlah. Saya terima semuanya di sini," kata Nur.

Ubah kebiasaan

Rumah singgah itu berdiri sejak 1994. Waktu itu, menurut Nur, banyak anak sekitar yang tak mengenyam pendidikan. Perilaku mereka sangat dipengaruhi kerasnya kehidupan di seputar terminal.

Kebiasaan itu yang "dilawannya" dengan mendirikan rumah singgah dan tempat belajar itu. Tempat belajar ini disediakan gratis bagi anak-anak dari keluarga tak mampu. Ia yang membiayai operasional sekolah itu.

Karena keterbatasan ekonomi, Nur hanya bisa mendatangkan seorang guru pada hari Senin hingga Rabu. Tepian sungai juga menjadi pilihan karena saat itu masih ada lahan kosong dan terjangkau.

Sekolah dan perpustakaan sempat "tergusur" karena lokasi lama di seberang Sungai Cipinang akan dijadikan Waduk Rambutan. Mereka pindah ke sisi seberang sungai. "Saya juga sadar kalau tempat ini melanggar. Namun, kami juga ingin punya tempat belajar lagi," kata Nur.

Ia berharap, anak-anak ini bisa belajar di tempat yang tak lagi merebut ruang untuk sungai. Entah bagaimana caranya. (HAS/RTS/HLN/ART)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Maret 2017, di halaman 26 dengan judul "Kisah Sedih dan Harapan Mengalir dari Tepi Sungai".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Usul Heru Budi Bangun “Jogging Track” di RTH Tubagus Angke Dinilai Tak Tepat dan Buang Anggaran

Usul Heru Budi Bangun “Jogging Track” di RTH Tubagus Angke Dinilai Tak Tepat dan Buang Anggaran

Megapolitan
Polisi Sebut Pembunuh Wanita Dalam Koper Tak Berniat Ambil Uang Kantor yang Dibawa Korban

Polisi Sebut Pembunuh Wanita Dalam Koper Tak Berniat Ambil Uang Kantor yang Dibawa Korban

Megapolitan
Ketimbang “Jogging Track”, RTH Tubagus Angka Diusulkan Jadi Taman Bermain Anak untuk Cegah Prostitusi

Ketimbang “Jogging Track”, RTH Tubagus Angka Diusulkan Jadi Taman Bermain Anak untuk Cegah Prostitusi

Megapolitan
Mahasiswa STIP Tewas Dianiaya Senior, Keluarga Minta Keadilan dan Tanggung Jawab Sekolah

Mahasiswa STIP Tewas Dianiaya Senior, Keluarga Minta Keadilan dan Tanggung Jawab Sekolah

Megapolitan
Mahasiswa STIP Tewas Diduga Dianiaya Senior, Keluarga Temukan Banyak Luka Lebam

Mahasiswa STIP Tewas Diduga Dianiaya Senior, Keluarga Temukan Banyak Luka Lebam

Megapolitan
Taruna STIP Tewas Dianiaya Senior, Keluarga Sebut Korban Tak Punya Musuh

Taruna STIP Tewas Dianiaya Senior, Keluarga Sebut Korban Tak Punya Musuh

Megapolitan
Otopsi Selesai, Jenazah Taruna STIP yang Tewas Dianiaya Senior Akan Diterbangkan ke Bali Besok

Otopsi Selesai, Jenazah Taruna STIP yang Tewas Dianiaya Senior Akan Diterbangkan ke Bali Besok

Megapolitan
Jadi Tempat Prostitusi, RTH Tubagus Angke Diusulkan untuk Ditutup Sementara dan Ditata Ulang

Jadi Tempat Prostitusi, RTH Tubagus Angke Diusulkan untuk Ditutup Sementara dan Ditata Ulang

Megapolitan
Heru Budi Diminta Tegur Wali Kota hingga Lurah karena RTH Tubagus Angke Jadi Tempat Prostitusi

Heru Budi Diminta Tegur Wali Kota hingga Lurah karena RTH Tubagus Angke Jadi Tempat Prostitusi

Megapolitan
Keberatan Ditertibkan, Juru Parkir Minimarket: Cari Kerjaan Kan Susah...

Keberatan Ditertibkan, Juru Parkir Minimarket: Cari Kerjaan Kan Susah...

Megapolitan
BPSDMP Kemenhub Bentuk Tim Investigasi Usut Kasus Tewasnya Taruna STIP

BPSDMP Kemenhub Bentuk Tim Investigasi Usut Kasus Tewasnya Taruna STIP

Megapolitan
Status Taruna STIP yang Aniaya Junior Bakal Dicopot

Status Taruna STIP yang Aniaya Junior Bakal Dicopot

Megapolitan
Duka pada Hari Pendidikan, Taruna STIP Tewas Dianiaya Senior

Duka pada Hari Pendidikan, Taruna STIP Tewas Dianiaya Senior

Megapolitan
Mahasiswanya Tewas Dianiaya Senior, Ketua STIP: Tak Ada Perpeloncoan, Murni Antarpribadi

Mahasiswanya Tewas Dianiaya Senior, Ketua STIP: Tak Ada Perpeloncoan, Murni Antarpribadi

Megapolitan
Fakta-fakta Kasus Pembunuhan Mayat Dalam Koper di Cikarang

Fakta-fakta Kasus Pembunuhan Mayat Dalam Koper di Cikarang

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com