Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jalu Priambodo

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian INSTRAT.

Menggugat Rasionalitas Pemilih DKI

Kompas.com - 18/04/2017, 19:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLaksono Hari Wiwoho

Beberapa waktu yang lalu, lembaga survei politik Median merilis hasil survei terkait Pilkada DKI berjudul "Paradoks Perilaku Pemilih Pilgub DKI 2017: Adu Kuat Pemilih Rasional dan Pemilih Emosional".

Dalam survei tersebut, peneliti mengelompokkan pemilih ke dalam dua golongan, pemilih rasional dan pemilih emosional. Dalam menentukan pemilih mana yang tergolong rasional dan emosional, peneliti menggunakan beberapa set pertanyaan yang dikaitkan oleh peneliti dengan rasionalitas dan emosionalitas.

Rasionalitas didefinisikan oleh pertanyaan apakah responden melihat kemampuan kandidat membenahi kota, memiliki program kerja paling bagus, serta paling dianggap berpengalaman. Peneliti juga mengaitkan pertanyaan di atas dengan tingkat kepuasan responden terhadap kinerja petahana.  

Emosionalitas pada sisi yang lain dikaitkan dengan responden melihat agama calon serta sosok kandidat. Penilaian sosok ini meliputi kesantunan, kewibawaan, kepedulian yang ditunjukkan kandidat. Peneliti juga menunjukkan adanya kandidat yang tidak dipilih responden karena gaya bicaranya.  

Pengelompokan pemilih berdasarkan kriteria di atas seakan mengatakan bahwa ada pemilih rasional dan ada pemilih emosional. Pemilih yang rasional tidak emosional dan pemilih yang emosional tidak rasional. Peneliti mengarahkan rasionalitas ke salah satu paslon dan emosionalitas ke paslon lainnya.  

Peneliti juga menggunakan kata paradoks ketika tidak mampu menjelaskan kenapa kandidat yang dipilih secara rasional memperoleh suara lebih rendah daripada kandidat yang dipilih secara emosional.

Seolah-olah pilihan rasional berada pada posisi lebih tinggi daripada pilihan emosional. Padahal baik rasionalitas dan emosionalitas dibuat berdasarkan definisi yang dibuat peneliti sendiri.

Penyederhanaan konsep rasionalitas pilihan sebenarnya mulai ditinggalkan oleh para pemikir ekonomi dan ilmu sosial. Sebab, pola pikir yang menyederhanakan pengambilan pilihan seperti ini sangat berbahaya dalam membuat model-model ilmu sosial yang lebih kompleks. Terlebih lagi konsep rasionalitas yang dibuat peneliti pun sebenarnya juga kurang akurat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Remaja yang Tusuk Seorang Ibu di Bogor Kini Berstatus Anak Berhadapan dengan Hukum

Remaja yang Tusuk Seorang Ibu di Bogor Kini Berstatus Anak Berhadapan dengan Hukum

Megapolitan
Seorang Pria Ditemukan Meninggal Dunia di Dalam Bajaj, Diduga Sakit

Seorang Pria Ditemukan Meninggal Dunia di Dalam Bajaj, Diduga Sakit

Megapolitan
PKS-Golkar-Nasdem Masih Terbuka ke Parpol Lain untuk Berkoalisi di Pilkada Depok 2024

PKS-Golkar-Nasdem Masih Terbuka ke Parpol Lain untuk Berkoalisi di Pilkada Depok 2024

Megapolitan
Dukung Penertiban Jukir Liar, Pegawai Minimarket: Kadang Mereka Suka Resek!

Dukung Penertiban Jukir Liar, Pegawai Minimarket: Kadang Mereka Suka Resek!

Megapolitan
Diduga Mengantuk, Sopir Angkot di Bogor Tabrak Pengendara Sepeda Motor hingga Tewas

Diduga Mengantuk, Sopir Angkot di Bogor Tabrak Pengendara Sepeda Motor hingga Tewas

Megapolitan
Pengendara Motor Tewas Usai Ditabrak Angkot di Bogor

Pengendara Motor Tewas Usai Ditabrak Angkot di Bogor

Megapolitan
Soal Jakarta Tak Lagi Jadi Ibu Kota, Ahok : Harusnya Tidak Ada Pengangguran

Soal Jakarta Tak Lagi Jadi Ibu Kota, Ahok : Harusnya Tidak Ada Pengangguran

Megapolitan
Keterlibatan 3 Tersangka Baru Kasus Tewasnya Taruna STIP, dari Panggil Korban sampai 'Kompori' Tegar untuk Memukul

Keterlibatan 3 Tersangka Baru Kasus Tewasnya Taruna STIP, dari Panggil Korban sampai "Kompori" Tegar untuk Memukul

Megapolitan
Puncak Kasus DBD Terjadi April 2024, 57 Pasien Dirawat di RSUD Tamansari

Puncak Kasus DBD Terjadi April 2024, 57 Pasien Dirawat di RSUD Tamansari

Megapolitan
Ahok : Buat Tinggal di Jakarta, Gaji Ideal Warga Rp 5 Juta

Ahok : Buat Tinggal di Jakarta, Gaji Ideal Warga Rp 5 Juta

Megapolitan
Ahok: Saya Mendorong Siapa Pun yang Jadi Gubernur Jakarta Harus Serahkan Nomor HP Pribadi ke Warga

Ahok: Saya Mendorong Siapa Pun yang Jadi Gubernur Jakarta Harus Serahkan Nomor HP Pribadi ke Warga

Megapolitan
Susul PKS dan Golkar, Partai Nasdem Gabung Koalisi Usung Imam-Ririn di Pilkada Depok 2024

Susul PKS dan Golkar, Partai Nasdem Gabung Koalisi Usung Imam-Ririn di Pilkada Depok 2024

Megapolitan
Masih Ada 7 Anak Pasien DBD yang Dirawat di RSUD Tamansari

Masih Ada 7 Anak Pasien DBD yang Dirawat di RSUD Tamansari

Megapolitan
Viral Video Sekelompok Orang yang Diduga Gangster Serang Warga Bogor

Viral Video Sekelompok Orang yang Diduga Gangster Serang Warga Bogor

Megapolitan
PKS dan Golkar Berkoalisi, Dukung Imam Budi-Ririn Farabi Jadi Pasangan di Pilkada Depok

PKS dan Golkar Berkoalisi, Dukung Imam Budi-Ririn Farabi Jadi Pasangan di Pilkada Depok

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com