Pasar Tanah Abang dulu disebut Pasar Sabtu karena hanya buka setiap Sabtu. Pasar yang kini jadi pusat jual-beli barang tekstil itu didirikan Yustinus Vinck pada 30 Agustus 1735. Pasar itu sempat diporak-porandakan dalam tragedi Chineezenmoord tahun 1740.
Tahun 1881, Pasar Tanah Abang berangsur pulih. Pasar mulai dibuka dua hari, Sabtu dan Rabu.
Perputaran uang di pasar yang kini terletak di kawasan Jakarta Pusat itu kian meningkat. Pembangunan Stasiun Tanah Abang pun semakin membuat bisnis tekstil semakin menggeliat.
Pasar Tanah Abang akhirnya dibuka setiap hari, bangunan semi permanen telah berubah menjadi gedung-gedung bertingkat yang dapat menampung ratusan bahkan ribuan pedagang.
Pasar Tanah Abang kerap kali menjadi sorotan publik karena kesemrawutannya. Meski berbagai upaya penertiban dilakukan, kawasan sekitar Pasar Tanah Abang tetap saja dipenuhi para pedagang kaki lima (PKL) liar yang menjajakan dagangannya di jalur-jalur pedestrian. Alhasil, kemacetan hingga tindakan kriminal tak dapat dihindarkan dari kawasan tersebut.
Selain itu, pasar yang terletak berdekatan dengan Stasiun Tanah Abang ini juga membuatnya selalu ramai dikunjungi warga.
Pada tahun 2013, Pemerintah Provinsi (Pemorov) DKI Jakarta pernah mencoba merelokasi para PKL di kawasan ini ke gedung Blok G pasar. Namun karena sepi pengunjung, kini para pedagang kembali mengokupasi jalur pedestrian.
Cerita Para Pedagang Lama
Samsul Rizal (60) seorang pedagang pakaian di Blok G Pasar Tanah Abang mengaku telah berdagang di kawasan tersebut sejak 30 tahun yang lalu.
"Dulu pas saya jualan itu Blok G ini masih jadi terminal, bukan bangunan pasar bertingkat begini," kata dia ketika ditemui Kompas.com, Senin (30/10/2017).
Ia mengatakan, saat itu dirinya berdagang di pinggir jalan tepatnya di seberang terminal yang kini berubah menjadi gedung Blok G Tanah Abang.
"Dulu sama sekali belum ada gedung-gedung pasar. Saya itungannya dulu juga PKL (pedagang kaki lima), orang saya jualan di pinggiran jalan depan terminal. Tapi ya dulu masih bebas, belum ada Satpol PP seperti sekarang," paparnya.
Pedagang lain bernama Aryani (52) mengatakan, dahulu gedung Blok A dan Blok B merupakan sebuah bangunan sekolah.
"Saya itu lahir di Tanah Abang. Bapak Ibu saya dulu pedagang di sini, saya inget betul dulu itu Blok A sama Blok B itu ya bangunan sekolah Cina, terus di depannya itu banyak tukang jual pisang," sebutnya saat ditemui Kompas.com.
Aryani melanjutkan, saat itu jalanan di sekitar pasar masih sangat buruk. Meski demikian pengunjung pasar tradisional di kawasan tersebut sangat ramai.
"Dulu itu enggak cuma jualan tekstil kita, ada yang jual sayur, ikan, macem-macem. Ramai bener dulu soalnya kan belum ada saingannya kan. Pedagang juga belum banyak kayak sekarang," sebutnya.
Samsul Rizal melanjutkan, kondisi mendadak berubah ketika Blok A dan Blok B Pasar Tanah Abang dibangun.
"Dulu Blok A dan Blok B bangunannya masih kayak Blok G sekarang. Ya gedung bertingkat tapi enggak bagus kayak sekarang, belum ada AC (air conditioner) model sekarang," kata dia.
Pada saat itu, para PKL pun menolak dipindahkan ke bangunan Blok A dan Blok B pasar. Alasannya, karena sepi pengunjung. Para PKL termasuk Samsul lebih memilih bertahan berjualan di pinggir jalan.
Menurutnya, sejak saat itu Satpol PP ditugaskan untuk mengusir para PKL. Para preman pun mulai memanfaatkan kesempatan untuk meminta uang keamanan agar dagangan para PKL aman dari penertiban.
"Mulai deh itu ada Satpol PP lah preman lah. Kita enggak nyangka bangunan Blok A sama Blok B jadi bagus kayak sekarang. Eh sekarang dapetnya malah di Blok G yang sekedarnya begini kondisinya," sesalnya.
Sama dengan Samsul, Aryani pun menyesal melihat kondisi Blok G saat ini.
"Sepinya minta ampun. Kadang tiga hari enggak ada yang beli di sini. Kalau mau sewa di blok lain enggak kuat bayarnya. Sekarang tuh pendatang itu udah nguasai pasar. Orang-orang lama kayak kita ini ya pasrah aja," kata dia.
Saat ini kondisi Blok G Pasar Tanah Abang memang sepi pengunjung. Para pedagang di lantai tiga pun memilih "gulung tikar", berpindah ke lantai bawah, atau bahkan membuka lapak di jalur-jalur pedestrian.
Persaingan usaha yang kian ketat inilah yang agaknya membuat Pasar Tanah Abang sulit ditertibkan.
"Nertibin Tanah Abang mah susah neng, semua cari makan. Enggak nekat jualan di bawah ya bisa-bisa enggak makan beneran," kata Samsul.
https://megapolitan.kompas.com/read/2017/10/31/07560281/cerita-para-pedagang-tentang-pasar-tanah-abang-tempo-dulu