Lahan-lahan basah tersebut antara lain berupa hutan bakau, rawa, persawahan yang kini telah beralih fungsi menjadi permukiman hingga pabrik dan pergudangan.
"Yang setiap tahun terjadi di Jakarta salah satunya disebabkan perubahan morfologi kota yang sudah terakumulasi. Di banyak lokasi, terutama di Jakarta Barat dan Jakarta Utara, lahan-lahan basah telah diurug untuk dibangun permukiman, pabrik, dan pergudangan," kata Jehansyah dalam diskusi 'Bagaimana Mengatasi Banjir Jakarta' di Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (3/5/2019).
Ia mengatakan, lahan-lahan basah di sepanjang bantaran sungai terus diduduki dan dibangun permukiman, baik formal maupun informal.
Konversi lahan basah yang semula berfungsi sebagai area retensi dan serapan air menjadi area perkotaan dibiarkan terus terjadi telah mengakibatkan luapan air yang semakin meningkat setiap musim hujan.
Lahan basah yang harus dimiliki Jakarta minimal 30 persen tetapi Jakarta kini hanya punya 5 persen.
"(Lahan basah) 30 persen dan itu ada di Jakarta Utara dan Barat. Tapi sudah alih fungsi, yang seharusnya 30 (persen) paling sekarang tinggal 5 persen," kata dia.
Menurut dia, hal ini mencerminkan gagalnya tata ruang Jakarta. Rencana tata ruang wilayah (RTRW) Jakarta tidak diterapkan karena kalah dengan kepentingan bisnis. Tak heran jika banyak bangunan didirikan di atas lahan basah.
"Itu tidak disusun berlandaskan akar masalah dan tujuan pembangunan Jakarta secara objektif untuk kepentingan publik. Hampir semua peraturan di Jakarta bersifat tambal sulam karena hanya diatur berdasarkan SK Gubernur yang hanya menguntungkan para pengembang besar," ujar dia.
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/05/03/22075901/penyebab-terbesar-banjir-di-jakarta-adalah-hilangnya-lahan-basah