Pasalnya ia harus bekerja selama 19 jam bahkan terkadang 24 jam untuk menghitung surat suara hingga mengisi form C1 yang begitu rumit.
“Sudah banyak surat suara yang dhitung, terus ditambah ngisi form C1 yang banyak. Jadi ribet sekali, hampir semua teman KPPS mengeluhkan itu,” ucap Farid kepada Kompas.com, Kamis (9/5/2019).
Menurut Farid, tanggung jawab yang besar menyebabkan sedikitnya kemauan masyarakat yang mau berpartisipasi menjadi anggota KPPS.
Ia mengakui, mau menjadi ketua KPPS lantaran tidak ada lagi masyarakat yang mau mendaftar jadi ketua KPPS.
“Saya saja last minute diminta pak RT jadi ketua KPPS karena emang tidak ada orang yang mau karena tanggung jawab yang besar. Saya saja mau jadi KPPS karena tidak ada yang daftar. Jadi mau enggak mau ya, harus mau karena siapa lagi kalau bukan saya,” ucap Farid.
Farid prihatin dengan anggota KPPS saat ini yang rata-rata sudah paruh baya. Menurutnya, usia tersebut rentan mengalami kelelahan ditambah apabila ada petugas yang memiliki riwayat sakit sebelumnya.
“Saya masih termasuk paling muda, masih kepala 3 dan dua orang lainnya. Ada tiga anggota KPPS lainnya yang udah kepala empat bahkan RT saya yang bertugas jadi anggota KPPS udah kepala lima. Anggota kemanaan saya pun udah kepala lima,” ucapnya.
Oleh karena itu, ia tidak heran banyak petugas KPPS yang meninggal dunia karena kelelahan. Sebab menurutnya tugas dari KPPS memang melelahkan.
“Kita, petugas KPPS ini kurang tidur, dehidrasi, merasakan stres. Badan juga ngedrop. Saya sendiri merasakan itu. Gimana yang umurnya lebih tua dari saya?” ucapnya.
Tekanan tanggung jawab di pemilu ini pun menurutnya lebih besar. Ia menilai tingkat kecurigaan masyarakat yang tinggi sering menjadi beban bagi petugas KPPS.
“Tahun ini curiga masyarakat itu tinggi ya, kubu satu bilang curang ke kubu dua, terus kubu dua bilang curang ke kubu satu. Kita petugas KPPS kerja itu seperti diplototin dengan kecurigaan masyarakat,” ucapnya.
Ia prihatin sedikitnya anak muda yang mengambil peran menjadi anggota KPPS. Padahal alangkah lebih baiknya tugas berat KPPS ini dikerjakan anak-anak muda.
“Harusnya yang muda-muda yang harus ngerjain ngitung suara, nulis panjang kaya form C1. Kasihan kalau mengandalkan yang orangtua,” ucapnya.
Farid mengakui, dirinya tak pernah mendapat tes kesehatan selama bertugas menjadi KPPS.
“Saya tidak pernah dapat check up kesehatan. Saya sendiri merasakan bimtek (bimbingan teknis) sekali bagaimana ngerjain pemilu yang benar atau tidak,” ucapnya.
Ia berharap, kekurangan di pemilu 2019 ini dapat menjadi evaluasi bagi KPU ke depannya.
“Teknis pelaporan yang kedodoran ini harus bisa jadi perbaikan bukan menghilangkan. Kalau kita hilangkan pemilu serentak tapi kita tidak perbaiki teknisnya sama saja kita seperti menyelami masalah,” ucapnya.
Menurutnya, KPU memerlukan standar manajemen khusus untuk menjadi petugas KPPS. Bukan hanya Bimtek, KPU bisa membuat video untuk simulasi pemilihan umum bagi KPPS.
“Harus nyiapin vidoe youtobe simulai pemilu, apa yang harus disiapin perlu tambahan kotak tidak, siapin triplek berapa sehingga bisa ditonton semua KPPS tidak hanya ketua saja sehingga teknisnya semua lancar,” ucapnya.
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/05/12/08164091/cerita-farid-jadi-ketua-kpps-muda-saat-tak-ada-orang-lain-yang-mau