Salin Artikel

Listrik Mati dan Padamnya Akal Sehat Kita

Namun keluarga saya yang sampai lebih awal di acara pesta pernikahan anak seorang kolega, justru melongo saat kegelapan menghantui ballroom gedung. Dapat diterka bila kegembiraan keluarga pengantin berubah kecemasan selama beberapa menit.

Genset gedung tidak memakai fasilitas automatic transfer switch, jeda kegelapan terjadi beberapa menit.

Saya belum paham apa yang sesungguhnya terjadi ketika pulang pesta, begitu pula saat menemukan traffic light jalan raya tidak berfungsi. Saya tetap menyetir mobil seperti biasa dari Slipi ke Perpustakaan Nasional di kawasan Ring Satu Istana, menghadiri Gramedia Writers & Readers Festival.

Tak ada rasa curiga, bahwa terjadi kerusakan fatal suplai listrik PLN di beberapa wilayah.
Keterkejutan saya berubah ketika penerima tamu acara menyatakan terlambat, karena saya tiba pk 14.05 WIB. Pendaftaran sudah closed.

Saya menyatakan, pengumuman acara sampai pukul 15.00 Wib. Saya bermohon agar dapat dimaklumi, pangkal soal yang membuat saya terlambat, termasuk pemadaman listrik yang berpengaruh kepada sistem perparkiran gedung acara, dan terganggunya traffic light jalan raya berimbas kemacetan.

Bayangkan, keluar gedung saja, terperangkap hampir 30 menit di basement.

Ternyata persoalan yang saya alami, terjadi di ruang publik. Perjalanan MRT atau moda raya terpadu, terganggu oleh pemadaman listrik di sebagian besar Jabodetabek. Kereta Api jarak jauh juga ikut terkena imbasnya.

Transportasi publik lain seperti TransJakarta, tidak dapat melakukan sistem pembayaran digital. Tempat hiburan Trans Studio Theme Park di Cibubur yang baru diresmikan, terpaksa menutup operasi sementara waktu. Belum lagi sejumlah mal yang operasionalnya terganggu pula.

Kita ini berada dalam era pencitraan pejabat publik. Kunjungan Gubernur Jakarta Anies Baswedan ke lokasi MRT dan RSUD untuk mengetahui dampak pemadaman listrik, tak lepas dari nyinyiran netizen maupun para buzzer.

Walikota Bogor, Bima Arya Sugiarto, juga melakukan kunjungan serupa ke rumah sakit.

Pertanyaan mendasar, apa yang sebenarnya terjadi dengan tata kelola good government governance di negeri kita, khususnya di perusahaan plat merah seperti PT PLN. Kenapa sistem jaringan yang sebenarnya saling back up malah berbarengan muncul masalah?

Bagaimana dengan pemeliharaan jaringan SUTET PLN selama ini? Agaknya, ada masalah serius di sana.

Seketika kesadaran publik menjadi sensifitif dengan pemadaman listrik. Mereka baru menyadari, betapa pentingnya kehadiran listrik dalam kehidupan sehari-hari.

Listrik menjadi simbol keberadaban kita sebagai bangsa modern, tak pelak lagi muncul protes keras terutama dari kelas menengah perkotaan. Aktivitas keseharian mereka yang melek literasi informasi publik, menjadi terganggu.

Ternyata hidup di kegelapan, sungguh menyiksa. Kehidupan warga menjadi terasa sinting, seolah-olah kita kembali ke era pra-kemerdekaan.

Bagaimana kalau suplay and demand listrik dalam jangka panjang, terganggu ke depannya, akibat pertumbuhan ekonomi dengan munculnya investasi baru di bidang manufaktur?

Betapa dungunya kita sebagai bangsa besar, masalah listrik yang dasar saja tidak bisa kita atasi secara cepat, dan tepat.

Bagaimana mau bersaing di era industri 4.0 dalam tren otomasi dan pertukaran data terkini yang digembar-gemborkan pemerintah?

Bagaimana kita menghadapi era distrupsi di dalam pemerintahan? Masih banyak deretan pertanyaan lain yang dapat kita ajukan, hanya karena persoalan listrik yang terganggu.

Tapi keluhan seorang kawan saya menarik untuk diperhatikan, meskipun pendapatnya terasa minor. ”Saya mau ke Bandara Soekarno-Hatta. Saldo uang digital kurang memadai. Mesin ATM mati, mau top up di gerai waralaba namun menghentikan operasi," keluhnya.

Tak hanya itu. "Mau masuk pintu tol tidak mungkin, saldo belum cukup. Padahal saya mau menjemput anak yang pulang berlibur di Bali. Terpaksa melalui jalan biasa yang ternyata macet di luar kebiasaan,” kata seorang kawan.

Kawan saya tidak sendirian. Masih banyak warga lain yang juga mengalami ketergagapan menghadapi pemadaman listrik secara masif. Buktinya, media sosial seperti Facebok, Twitter, dan lainnya, ramai nyinyiran pemadaman listrik.

Memang, warga kita sudah terbiasa nyinyir dalam masalah apapun. Namun kali ini, paling tidak menyadarkan mereka, betapa listrik sangat vital bagi kehidupan sehari-hari maupun bagi keberadaban bangsa kita.

Sejak pencanangan PLTN (Perusahaan Listrik Tenaga Nuklir) 40 tahun lebih, kita juga ribut menyampaikan protes di ruang publik. Momok yang didengung-dengungkan bahaya bom atom dan bahaya radiasi nuklir.

Memang, kita semakin terbiasa menghadapi pro dan kontra. Tapi masalahnya, kenapa pemangku kebijakan tidak berani melakukan pilihan yang tepat, benar, dan sesuai kebutuhan negara modern?

Padahal potensi nuklir di Indonesia besar. Sedikitnya 60 ribu ton uranium dan 130 ribu ton cadangan thorium bersarang di perut bumi negeri kita.

Batan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) sejak lama melakukan kajian penggunaan energi nuklir sebagai energi alternatif yang lebih murah. Pada akhir 1990-an di masa pemerintahan Soeharto, isu pembangunan PLTN sempat berembus. Ternyata belum terlaksana sampai kini.

Lagi-lagi, kita seharusnya sadar, pro dan kontra PLTN itu juga terjadi di negara maju.

Bukan tidak mungkin, energi nuklir yang murah diserang oleh proxy korporasi raksasa yang tidak ingin kehilangan bargaining ekonominya sebagai pemasok belasan juta batu bara ke PLTU (Perusahaan Listrik Tenaga Uap) seperti Cirebon Elektrik Power, General Energi Bali, Paiton 3, Paiton 7 dan Paiton 8, Pembangkit Jawa Bali (PJB), Jawa Power, Indonesia Power, dan pembangkit lainnya.

Nilai ekonominya buat pemasok batu bara seperti Adaro Indonesia tentu tidak sedikit. Belum lagi pemasok raksasa lainnya.

Kita sudah terbiasa menjadi bodoh, dan dibodoh-bodohi sebagai bangsa. Tak salah bila Belanda menjajah kita tiga setengah abad lamanya.

Kita dipecah-pecah melalui devide et impera terhadap kerajaan-kerajaan, keraton, dan puak-puak etnis yang punya pengaruh.

Pada pertengahan 2018, setelah melakukan studi banding ke Jepang, Badan Energi Nasional bertekad akan menyiapkan road map atau peta jalan PLTN. Padahal energi alternatif sangat mendesak.

Pembagunan PLTN pun butuh waktu yang cukup panjang. Pertanyaannya, kapan masyarakat mendapatkan energi alternatif yang murah? Mungkin menunggu bahan bakar fosil habis terlebih dahulu, barulah PLTN dibangun


Gugatan Class Action

Dari keterangan yang disampaikan PT PLN, pemadaman kali ini di DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan sebagian Jawa Tengah, terjadi karena karena Gas Turbin 1 sampai 6 Suralaya mengalami trip atau gangguan, sedangkan Gas Turbin 7 dalam kondisi mati.

Akibatnya pasok listrik ke Jabodetabek dipadamkan. Di Jawa Barat gangguan terjadi pada Transmisi SUTET (saluran udara tegangan ekstra tinggi) 500 kV.

Pemulihan listrik bervariasi di tiap wilayah operasi. Perkiraan pemadaman listrik akan sembuh Senin malam sekitar pukul 19.00 wib, namun tidak juga terjadi.

Seorang tetangga di komplek saya tinggal, terpaksa menghibur dirinya dengan membawa anjing kesayangannya keliling, dipandu senter yang setengah redup. Mungkin begitulah caranya untuk menghibur diri. Melakukan hal yang nyentrik di tengah kegelapan sekaligus simbol protes.

Satu hal yang terpikir oleh saya, adakah warga negara yang akan melakukan gugatan perdata kepada PLN dengan kejadian pemadaman kali ini? Pastilah isi kulkas di rumah warga ada yang menjadi busuk, setelah lebih delapan jam listrik tak nyala, bahkan ada yang sebelah jam lebih.

Aktivitas produktif mereka terkendala. Masih banyak sisi kerugian lain yang dapat dicermati.
Saya teringat pertengahan tahun 1980-an, adanya class action terhadap PLN karena seringnya pemadaman listrik di Medan.

Tahun 2009, tiga pengusaha di Lampung juga mengajukan gugatan class action terhadap PLN. Penyebabnya, pemadaman listrik dalam rentang waktu cukup lama.

Di tempat lain, Aceh pada tahun 2014 juga terjadi class action. Gugatan memang penting, terlepas dikabulkan atau tidak.

PT PLN sebagai pemegang otoritas monopoli listrik akan menjadi paham, betapa operasi PLN tidak boleh melakukan kesalahan, apalagi pemadaman masif. Alamat celaka bila benar-benar terjadi seperti kali ini.

Di era keterbukaan ini, publik juga paham bahwa tidak sedikit pejabat PLN yang tersangkut masalah hukum seperti Dirut PLN Eddie Widiono dan Nur Pamudji.

Kasus terakhir, Dirut PLN Sofyan Basir terkait proyek PLTU Riau 1. Imajinasi publik tak salah bila punya referensi terhadap tindakan pidana petinggi PLN.


Kelirunya pencitraan

Sebagai bangsa modern yang tengah berpacu menuju era pasar bebas, kita tidak bisa abai bahwa kita belum beranjak dari pengalaman tradisional.

Sebagian masyarakat kita masih percaya tahayul, seperti yang diungkapkan budayawan Mochtar Lubis dalam ceramah Manusia Indonesia di TIM, April 1977. Rasanya, kita belum jauh beranjak jauh.

Peradaban kita sebagai bangsa masih berada pada jalur yang tradisional. Tak jarang kita belum menggunakan akal sehat sebagai parameter melihat persoalan.

Selalu saja masih ada unsur mistik dan tahayul. Itu pula yang mungkin membuat hoaks mudah menyebar secara tepat, sebab lebih mementingkan perasaan, kebencian, dan hasultan pada saat menyebarkan sesuatu.

Tak mau mencerna, atau bertanya lebih dalam. Tidak melakukan cek dan ricek kembali.

Menarik untuk mengutip cirri-ciri utama Manusia Indonesia seperti dipaparkan Mochtar Lubis. Pertama, munafik atau hipokrit, contohnya perilaku asal bapak senang (ABS).

Kedua, enggan bertanggung jawab. Ketiga, berjiwa foedal, contohnya anti kritik. Keempat, percaya tahayul seperti keyakinan pada gendoruwo, kuntilanak, jampi-jampi. Kelima, artistik, satu-satunya sifat utama yang baik. Keenam, berwatak lemah yang disebabkan sifat munafik dan foedal.

Anda boleh tidak setuju. Tapi, relevansi ceramah Mochtar Lubis, masih dapat kita rasakan. Dalam contoh yang lebih aktual, betapa banyaknya dari kita yang terhasut oleh isu hoaks atau berita bohong.

Dalam Pilpres yang baru lalu, berita bohong salah satu motor andalan guna memukul lawan politik. Kita masih mudah terhasut oleh kebohongan yang dibungkus sedemikian rupa bentuknya.

Anehnya, buzzer sengaja dimainkan oleh simpatisan petahana maupun pendukung oposisi yang sedang merebut hati rakyat.

Saya terkaget-kaget dengan pengakuan seorang kawan yang lama bekerja di bidang penyiaran, bahwa ia terlibat dalam aksi buzzer dari kedua belah kubu yang bertarung.

Pertarungan untuk menciptakan opini publik, bukan persoalan yang mudah, dan melibatkan dana yang tidak kecil. Ternyata ia mengaku melibatkan buzzer di banyak titik di luar Jakarta dengan teknik penyamaran yang rapi.

Ada pihak yang menyediakan suplai data. Bukan tidak mungkin, masih banyak proxy lain yang bermain kala itu sebagai buzzer.

Kembali ke soal pemadaman listrik, saya yakin ini menjadi isu yang sensitif ke depannya. Bisa jadi buzzer pun akan bermain untuk menggiring opini.

Sebagai negara pemilik demokrasi yang ekstrim, kita akan dapat melihat apa yang terjadi ke depannya. Kedatangan Presiden Joko Widowo ke PLN, Senin (5/8/2019) pagi, hanya menegaskan bahwa PLN tidak berdaya.

Buktinya, pada hari hari itu juga, pemadaman bergilir kembali terjadi. Ironis. Kekecewaan Presiden yang datang bersama sejumlah Menteri Kabinet Kerja, malah menunjukkan public relations pemerintah yang buruk. Kenapa bukan pejabat PLN yang dijewer ke Istana, lalu ekspos besar-besaran?

Lagi-lagi, langkah bidak caturnya salah hitung. Bisa jadi tak ingin kalah langkah dengan Anies Baswedan, atau Bima Arya yang lebih cepat mendatangi obyek yang sedang bermasalah.

Kembali ke persoalan pemadaman listrik, masalah ini bukanlah isu yang sederhana. Bisa jadi ini menjadi isu yang canggih untuk digoreng di hari-hari mendatang.

Bisa jadi, ujungnya nanti ada yang menuding, kesalahan terletak kepada Presiden Joko Widodo yang dinilai tidak becus memimpin negara. Begitulah politik kita yang cenderung kurang cerdas memaknai oposisi. Kita memaknai oposisi sebagai tindakan makar, sebab oposisi menyeret-nyeret wibawa pemerintah.

Untuk mencapai kekuasaan tertinggi, tidak sedikit yang harus dipertaruhkan, termasuk kebohongan kita memangsa bangsa sendiri.

Kerusuhan pada 22 Mei 2019 lalu, bukti bahwa kita masih menjadi bangsa yang kurang beradab. Pertarungan poilitik berujung kekerasan massal.

Tapi kalau kita tanya lebih lanjut, perusuh mungkin akan punya alasan pula, kenapa ada kecurangan masal seperti yang digembar-gemborkan, malah dibiarkan.

Buzzer tak berhenti pada saat Prabowo menerima upaya damai dengan Jokowi. Pihak yang awalnya hidup mati membela Prabowo, tak sedikit yang menyerang balik.

Partai pendukung Jokowo juga takut kehilangan jatah kursi. Politik kita memang baru sebatas bagi-bagi kursi kekuasaan.

Politik belum menjadi ijtihad bagi kemaslahatan rakyat, kemakmuran civil society, dan bangsa kita. Kita masih tersandera masa lalu kita yang centang-perenang, tersangkut banyak hal yang menyisakan masalah, dan mungkin bom waktu.

Peradaban politik kita masih sebatas perebutan pengaruh dan kekuasaan. Entah sampai kapan kotak pandora perpolitikan modern di negeri kita, akan tetap menjadi teka-teki. (R Mulia Nasution. Penulis pernah bekerja sebagai jurnalis untuk The Jakarta Post, RCTI, Trans TV. Ia pernah bergiat menulis puisi, cerita pendek, novel, opini. Novelnya Rahasia Tondi Ayahku (Satria 2012,321 hal). Kini bergerak di bidang problem solving, creative marketing, dan public relations)

https://megapolitan.kompas.com/read/2019/08/12/19080951/listrik-mati-dan-padamnya-akal-sehat-kita

Terkini Lainnya

Tidak Kunjung Laku, Rubicon Mario Dandy Bakal Dilelang Ulang dengan Harga Lebih Murah

Tidak Kunjung Laku, Rubicon Mario Dandy Bakal Dilelang Ulang dengan Harga Lebih Murah

Megapolitan
Pemprov DKI Disarankan Gunakan Wisma Atlet Buat Tampung Warga Eks Kampung Bayam

Pemprov DKI Disarankan Gunakan Wisma Atlet Buat Tampung Warga Eks Kampung Bayam

Megapolitan
Terlibat Tawuran, Dua Pelajar Dibacok di Jalan Raya Ancol Baru

Terlibat Tawuran, Dua Pelajar Dibacok di Jalan Raya Ancol Baru

Megapolitan
Potret Kemiskinan di Dekat Istana, Warga Tanah Tinggi Tidur Bergantian karena Sempitnya Hunian

Potret Kemiskinan di Dekat Istana, Warga Tanah Tinggi Tidur Bergantian karena Sempitnya Hunian

Megapolitan
Dinas SDA DKI Targetkan Waduk Rawa Malang di Cilincing Mulai Berfungsi Juli 2024

Dinas SDA DKI Targetkan Waduk Rawa Malang di Cilincing Mulai Berfungsi Juli 2024

Megapolitan
Pemprov DKI Teken 7 Kerja Sama Terkait Proyek MRT, Nilai Kontraknya Rp 11 Miliar

Pemprov DKI Teken 7 Kerja Sama Terkait Proyek MRT, Nilai Kontraknya Rp 11 Miliar

Megapolitan
Penampilan TikToker Galihloss Usai Jadi Tersangka, Berkepala Plontos dan Hanya Menunduk Minta Maaf

Penampilan TikToker Galihloss Usai Jadi Tersangka, Berkepala Plontos dan Hanya Menunduk Minta Maaf

Megapolitan
4 Pebisnis Judi 'Online' Bikin Aplikasi Sendiri lalu Raup Keuntungan hingga Rp 30 Miliar

4 Pebisnis Judi "Online" Bikin Aplikasi Sendiri lalu Raup Keuntungan hingga Rp 30 Miliar

Megapolitan
Remaja yang Tewas di Hotel Senopati Diduga Dicekoki Ekstasi dan Sabu Cair

Remaja yang Tewas di Hotel Senopati Diduga Dicekoki Ekstasi dan Sabu Cair

Megapolitan
Pintu Air Bendung Katulampa Jebol, Perbaikan Permanen Digarap Senin Depan

Pintu Air Bendung Katulampa Jebol, Perbaikan Permanen Digarap Senin Depan

Megapolitan
Masih Banyak Pengangguran di Tanah Tinggi, Kawasan Kumuh Dekat Istana Negara

Masih Banyak Pengangguran di Tanah Tinggi, Kawasan Kumuh Dekat Istana Negara

Megapolitan
Dinas SDA DKI: Normalisasi Ciliwung di Rawajati Bisa Dikerjakan Bulan Depan

Dinas SDA DKI: Normalisasi Ciliwung di Rawajati Bisa Dikerjakan Bulan Depan

Megapolitan
Warga Miskin Ekstrem di Tanah Tinggi Masih Belum Merasakan Bantuan, Pemerintah Diduga Tidak Tepat Sasaran

Warga Miskin Ekstrem di Tanah Tinggi Masih Belum Merasakan Bantuan, Pemerintah Diduga Tidak Tepat Sasaran

Megapolitan
Mobil Rubicon Mario Dandy Tak Laku Dilelang

Mobil Rubicon Mario Dandy Tak Laku Dilelang

Megapolitan
Khawatir Tak Lagi Dikenal, Mochtar Mohamad Bakal Pasang 1.000 Baliho untuk Pilkada Bekasi

Khawatir Tak Lagi Dikenal, Mochtar Mohamad Bakal Pasang 1.000 Baliho untuk Pilkada Bekasi

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke