Di perkotaan seperti Jakarta yang sibuk dan segalanya berlangsung cepat, keluarga kerap tak lagi jadi hal utama dalam kehidupan.
"Misalnya, anak menghadapi kesulitan tidak lagi menjadikan orangtuanya tempat curhat, tempat mencari solusi. Begitu pula suami-istri. Mengapa? Karena ada sumber lain yang bisa jadi referensi, yang lebih dipilih untuk mengatasi masalah individu. Keluarga bukan referensi utama," kata Adrianus kepada Kompas.com via telepon, Jumat (30/8/2019) pagi.
"Kita juga harus melihat, di sisi yang lain, keinginan untuk berkeluarga masih tinggi," ia menambahkan.
Karena renggangnya hubungan internal keluarga, lanjut Adrianus, sesama anggota keluarga pun dipandang sebagai "orang lain".
Karena itu, acapkali pendekatan yang dilakukan untuk mengatasi konflik sesama anggota keluarga justru menyerupai saat seseorang berkonflik dengan orang lain.
"Kalau kita tidak puas pada orang lain, kemudian marah besar kepadanya, itu juga yang akhirnya terjadi pada keluarga. Jika konflik dengan orang lain, kita cenderung menghadapai dengan pendekatan untung rugi, itu juga yang kita lakukan pada keluarga yang dasarnya memang renggang," papar guru besar Universitas Indonesia (UI) itu.
"Ada sebagian kecil konflik yang lalu berakhir ekstrem, memandangnya 'saya tidak butuh keluarga, anggota keluarga begitu saya bunuh saja'," imbuh dia.
Berdasarkan catatan Kompas.com hingga Jumat ini, ada 4 kasus pembunuhan yang melibatkan sesama anggota keluarga pada bulan ini di Jakarta dan sekitarnya. Tiga di antaranya bahkan terjadi pada pekan ini.
Kasus-kasus itu melibatkan suami-istri hingga, ankak-orangtua, termasuk hubungan tak sedarah alias tiri.
Kasus pembunuhan berencana terkait rebutan harta oleh AK, warga Jakarta Selatan yang memanggang suami dan anak tirinya di Sukabumi, Jawa Barat, pada 25 Agustus 2019 menjadi yang paling menyita perhatian.
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/08/30/09493831/pembunuhan-sesama-anggota-keluarga-merebak-ini-kata-kriminolog-ui