Selama ini, keluarga Melati hidup dari TPS ilegal tersebut.
"Kalau ini ditutup, kita makan dari mana? Memang mau jamin kita makannya gimana, setiap hari ekonominya dari mana?" kata Melati, Kamis (5/9/2019) sore.
"Boleh saja tutup, tapi ada jaminannya enggak sebulannya buat kami?" imbuhnya.
TPS ilegal itu kira-kira seluas lapangan basket, menghampar di depan rumah-rumah semipermanen, termasuk rumah Melati, di bantaran Kali Jambe.
Dua ratus meter dari sana, terdapat jembatan penghubung Desa Karangsatria dan Desa Mangunjaya.
Di bawah jembatan itulah, aliran kali tertutup hamparan sampah sejauh 500 meter ke arah hilir.
Warga setempat menduga, sampah-sampah itu terbawa aliran kali dari TPS di depan rumah Melati.
"Kalau saya pribadi melihat, itu dari TPS di sana. Sudah membeludak, akhirnya turun ke kali," ungkap Masrad (41), warga Desa Mangunjaya yang terletak di seberang Desa Karangsatria.
Kamis petang, tumpukan sampah tampak sudah bertambah sekitar 50 meter dari titik semula ketika dikunjungi Rabu (4/9/2019). Penambahan itu berasal dari arah selatan, arah TPS ilegal tersebut.
Nafkah keluarga
Kala berbincang dengan wartawan, Melati tak bisa melepaskan tangannya dari kepala si buah hati yang memeluk manja pahanya.
Sejurus kemudian, ayahnya, Satori (85) menghampiri dari arah rumahnya.
Satori mengaku sudah berdiam di tempat ini sejak tahun 1950. Kala itu, belum ada perumahan di sekitar Kali Jambe, melainkan rawa-rawa.
"Tahun berapa saya enggak tahu, tanah Bapak dibeli (pengembang perumahan) Koperpu buat jalan utama. Dipindahin sama pegawai kali ke sini," kata Melati.
"Nah, ngumpulin sampah begini mah sudah lama, sudah dari saya masih kecil, waktu seumur dia nih empat tahun," imbuhnya sambil menunjuk si buah hati yang sulit menyembunyikan tawa.
Melati anak paling bontot dari sembilan anak Satori. Kesembilannya kini telah berkeluarga.
Seluruhnya tinggal di sekitar TPS tersebut, membangun rumah-rumah semipermanen berbahan triplek dan seng.
"Semua ngelola ini. Paling satu anak ambil sampah di dua RT. Bapak saya kasihan sudah tua, jadi anak-anaknya saja," kata Melati.
Menurut dia, sampah-sampah yang ditimbun depan rumahnya itu merupakan buangan dari Perumahan Koperpu dan Perumahan Bekasi Timur Permai (BTP) tiap harinya.
Total, ada sekitar 18 RT yang sampahnya diangkut menggunakan gerobak ke TPS depan rumahnya.
"Kalau saya, suami saya yang ngambil sampah. Saya cuma milihin rongsokannya saja," ujar Melati.
Di depan rumah Melati, tampak berjejer beberapa karung berisi pilahan sampah, mulai dari barang bekas, kardus, dan botol plastik.
Melati menuturkan, pilahan rongsok ini jadi pundi-pundi tambahan untuk beli beras.
"Lauknya mah apa bae, mau garam mau apa," katanya.
Sampah kardus hanya dihargai Rp 1.000 per kilogram, sementara sampah botol plastik Rp 2.000.
Apabila hanya mengandalkan iuran warga, Melati dan keluarga hanya menerima Rp 300.000 dari setiap RT per bulannya.
Jika total ada 18 RT yang sampahnya diangkut keluarga besar Satori, maka di atas kertas, keluarga ini hidup bermodal Rp 5,4 juta sebulan.
"Kita kelebihannya ya memang dari pendapatan rongsok," sebut Melati.
Ilegal
Melati bersikeras bahwa TPS yang ia dan keluarganya kelola bukan biang kerok tutupan sampah di Kali Jambe.
Pertama, insiden tutupan sampah di Kali Jambe baru terjadi tahun ini. Sedangkan "usahanya" sudah berlangsung bertahun-tahun.
Kedua, Melati mengklaim bahwa ia dan keluarga cukup aktif membersihkan aliran kali.
Sampah-sampah yang datang tiap hari itu, kata Melati, juga rutin dimusnahkan dengan cara dibakar.
"Lihat saja di sini kalinya bersih. Yang jorok sampah dari sana. Saya jamin. Kalau di sini saya juga ngerti, pegawai kali juga sering bilang supaya sampahnya jangan sampe menutup kali," jelas Melati.
"Setiap sampahnya nutup (aliran kali), suami saya langsung cebur bersihin biar enggak ada sumbatan supaya air mengalir. Di sini selalu kita bersihin terus. Adik, kakak, mantu, semua turun semua bersihin. Namanya numpang makan. Kita saling jaga," imbuhnya.
Memang, tumpukan sampah di TPS itu juga tak sampai membendung aliran kali.
Biarpun begitu, timbunan yang tak rapi membuat sampah-sampah itu longsor dari bibir ke dinding kali.
Satu hal yang bikin hati Melati agak gusar ketika disambangi wartawan, yakni status TPS ini ilegal.
Dia tak membantah hal itu. Melati mengaku, tidak satu pun truk sampah milik Pemerintah Kabupaten Bekasi yang pernah mengangkut sampah dari sini.
Melati mengaku, tiga orang "pegawai kali" rutin ia beri setoran uang bensin tiap bulan.
"Sebulannya ya ngasih, buat bensin dia lah. Dia sama kita juga sama-sama ngerti. Ya untungnya dia ngertiin sih. Mau gimana lagi, kan namanya kita makan dari sini," Melati menjelaskan.
Ia meminta wartawan mematikan perekam suara saat hendak menyebut nominal yang rutin disetorkan pada tiga pegawai kali tersebut. Alasannya, kembali lagi, ia gusar nafkah satu-satunya itu ditutup.
Tutupan sampah sepanjang 500 meter di Kali Jambe di perbatasan Desa Mangunjaya dan Desa Karangsatria, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi menambah panjang riwayat pencemaran kali akibat sampah di Kabupaten Bekasi.
Sebelumnya, Kali Pisang Batu di Tarumajaya sempat jadi sorotan dunia internasional karena tutupan sampah plastik pada Desember 2018.
Kemudian, sampah plastik ganti menutupi Kali Bahagia di Babelankota pada akhir Juli 2019.
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/09/06/06332821/kisah-tps-liar-dan-tumpukan-sampah-di-kali-jambe-bekasi