Biasanya dari sore menjelang malam, pegawai KPK mulai berjalan keluar gedung dan pulang ke rumah masing–masing, bertemu dengan keluarga yang sudah menunggu sedari pagi. Benar–benar nyaman.
Rasa nyaman itu mungkin bisa saja mereka nikmati, tetapi tidak tadi malam. Para pegawai KPK meninggalkan kenyamanan itu, pulang agak larut hanya untuk satu hal, menggelar aksi untuk suarakan duka cita.
Memang tidak ada fisik yang meninggal. Melainkan karena nyawa dari sebuah lembaga yang selama ini jadi ujung tombak pemberantasan korupsi telah dicabut oleh tangan para politikus penghuni gedung hijau Senayan.
Melalui disahkanya Revisi Undang-Undang KPK atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, para pegawai menganggap hilang sudah taring lembaga bentukan tahun 2002 ini untuk memberantas korupsi.
Masih mengenai malam itu, pegawai KPK satukan hati suarakan duka kepada publik. Mereka kibarkan bendera kuning sembari satu per satu keluar dari gedung.
Orasi duka cita pun dikumandangkan di depan puluhan awak media yang telah siaga dengan kamera dan alat perekamnya.
Tidak ketinggalan, replika sebuah kuburan dipajang di tengah massa aksi. Makam itu menandakan di dalam situlah jiwa KPK berbaring lemas tidak berdaya.
Sampai pada akhirnya satu orang pegawai KPK beranikan diri berbicara kepada Ibu Pertiwi, bercerita tentang pilunya negeri ini lewat sebuah puisi.
"Duka Ibu Pertiwi..
Bu, hari ini kami menangis lagi.
Meratapi bahwa lembaga harapan negeri habis digembosi.
Bicara korupsi memang tidak lagi memandang mana koalisi mana oposisi.
Karena bukti nyatanya KPK hari ini sudah selesai dihabisi.
Entah kemana pergi nurani dan logika, sampai sekarang kami bertanya–tanya.
Masih pantaskah berbaik sangka kepada mereka yang begitu nafsu bermufakat dalam senyap?
Apakah mereka buta? apakah mereka tuli? apakah mereka bisu dari yang rakyat suarakan?"
Sang pembaca puisi berhenti sejenak dan suasana mendadak hening. Ada satu, dua, atau mungkin tiga orang terdengar sesegukan menahan tangis karena puisi tersebut.
Sembari diiringi lantunan musik dari lagu "Ku Lihat Ibu Pertiwi" dengan halus, sang pembaca puisi melanjutkan puisinya.
"Buu…. Nestapa ini bukan yang pertama. Kami pun juga tahu ke depan medan makin terjal dan berliku.
Namun kita tidak boleh terhenti karena perjalanan belum usai. Kami pun percaya masih banyak, masih banyak yang bersama kami, berjuang demi Ibu Pertiwi”
Musik pun seketika mengeras, sontak semua menyanyikan lagu "Kulihat Ibu Pertiwi" untuk menutup puisi nan pilu itu.
Puisi itu mungkin tidak bisa mengubah apa-apa. Namun setidaknya itu curahan hati mereka mengenai lembaga kokoh yang menjadi garda terdepan pemberantasan korupsi.
Dengan UU KPK yang telah disahkan, akan seperti apa kinerja KPK kemudian hari?
Apakah akan ada nama nama besar lagi yang diburu karena korupsi?
Apakah kasus yang mangkrak akan dilanjutkan kembali?
Atau malah jadi mati suri?
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/09/18/06335491/sendu-di-gedung-kpk-tadi-malam