Dalam rapat itu, Pemprov DKI Jakarta merevisi besaran usulan anggaran Kebijakan Umum Anggaran-Plafon Prioritas Anggaran (KUA-PPAS) untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2020.
KUA-PPAS 2020 kini diusulkan sebesar Rp 89,441 triliun. Dalam rancangan KUA-PPAS 2020 sebelumnya diusulkan sebesar Rp 95,99 triliun. Artinya ada perubahan (penurunan) kurang lebih Rp 6 triliun.
"Perhitungan kami eksekutif sampai kemarin sore Rp 89,44 triliun," kata Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah dalam rapat KUA-PPAS 2020 di Gedung DPRD DKI Jakarta, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu.
Meski angka RAPBD itu diturunkan, Pemprov DKI Jakarta tetap dikritik sejumlah anggota DPRD DKI.
Target pendapatan yang pesimistis
Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Gerindra S Andyka kaget saat mendengar revisi KUA-PPAS untuk APBD 2020 turun sekitar Rp 6 triliun dari usulan awal.
Pendapatan asli daerah (PAD) pun turun dari Rp 57,71 triliun menjadi Rp 56,71 triliun. Andyka menyebutkan, PAD hasil revisi itu tampak pesimistis.
"Di sini cukup kaget di pendapatan hanya Rp 1 triliun yang terlihat penurunan, tapi di kerangka turunnya lumayan banyak. Dari pajak daerah direvisi kok pesimistis sekali," ujar Andyka.
Rancangan KUA-PPAS itu secara keseluruhan disebut sebagai rancangan yang pesimistis. Ia mempertanyakan apakah penurunan usulan anggaran itu untuk mengantisipasi adanya dana yang tidak cair.
"Apakah ini mengantisipasi seperti sebelumnya dana perimbangan tidak cair Rp 5 triliun?" kata dia.
Dana hibah dikritik
Selain PAD, beberapa anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD DKI juga menyoroti anggaran belanja hibah sebesar Rp 2,84 triliun yang dialokasikan Pemprov DKI Jakarta.
Anggota Banggar dari Fraksi Golkar Dimaz Raditya mengkritik anggaran hibah yang naik setiap tahun.
" Dana hibah tiap tahun naik, padahal kita tahu hibah tidak wajib," ucap Dimaz.
Anggota Banggar dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Viani Limardi mempertanyakan kewajiban Pemprov DKI memberikan hibah kepada sejumlah instansi. Menurut dia, masih banyak kebutuhan rakyat yang memerlukan alokasi anggaran.
"Apakah kita punya kewajiban hibah sebesar itu, sedangkan kebutuhan masyarakat kita masih banyak," kata Viani.
Anggaran dana hibah naik terus dari 2017. Dilihat dari situs web apbd.jakarta.go.id, anggaran hibah dalam APBD Perubahan 2017 sebesar Rp 1,47 triliun. Anggaran tersebut naik menjadi Rp 1,889 triliun dalam APBD Perubahan 2018.
Anggaran dana hibah naik lagi menjadi Rp 2,75 triliun dalam APBD Perubahan 2019.
BUMD tak butuh PMD
Anggaran Penyertaan Modal Daerah (PMD) untuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) juga turut disorot dalam rapat kemarin.
Anggota Banggar dari Fraksi PAN Bambang Kusumanto menilai PMD untuk BUMD tidak terlalu mendesak.
Ia mengaku telah bertemu beberapa direktur utama BUMD. Mereka menyampaikan sebenarnya BUMD tidak terlalu membutuhkan PMD.
"Terkait PMD kepada beberapa BUMD saya setuju bahwa ada suatu koreksi yang serius. Saya bicara kepada direktur utama BUMD yang akan ajukan permohonan, dari wawancara saya tampaknya mereka enggak butuh-butuh amat," ungkap Bambang.
Menurut dia, beberapa dirut mengaku sebenarnya mereka bisa meminjam dana dari bank.
"Saya tanya enggak apa-apa kalau enggak diberikan (PMD)? Kata mereka "enggak apa-apa". Kami bisa pinjam loan dari bank. Jadi bisa dialihkan untuk kepentingan rakyat," ucapnya.
Beli lahan tetapi terbengkalai
Viani Limardi juga mengkritik besarnya anggaran pembebasan lahan yang dialokasikan Pemprov DKI Jakarta.
Viani khusus menyoroti anggaran pembebasan lahan yang dialokasikan satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) mitra Komisi D DPRD DKI, seperti Dinas Bina Marga, Dinas Sumber Daya Air, hingga Dinas Kehutanan.
Viani mengemukakan, selama ini banyak lahan yang akhirnya terbengkalai setelah dibeli oleh Pemprov DKI.
"Pengelolaan aset tersebut tidak maksimal, sedangkan kita tiap tahun anggaran terus membeli aset atau lahan," ujar Viani.
Lahan yang terbengkalai berpotensi diduduki masyarakat. Hal itu akan menimbulkan masalah untuk Pemprov DKI.
"Itu akan membawa dampak lebih lanjut untuk Pemprov. Lahan lama kita biarkan, akan datang lagi masyarakat tinggal di situ, sengketa lagi," kata dia.
Keberadaan TGUPP perlu dievaluasi
Hal lain yang disorot dalam rapat adalah kinerja Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP).
Anggota Banggar dari Fraksi Gerindra Inggard Joshua menyatakan, ia belum melihat kinerja anggota TGUPP. Inggard menilai keberadaan anggota TGUPP perlu dipertimbangkan kembali.
"Selama ini kami belum melihat kinerja yang optimal yang dilakukan TGUPP. Ini juga perlu pertimbangan," ujar Inggard.
Inggard mempertanyakan tugas TGUPP dan satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Dia menilai, TGUPP berpotensi menimbulkan duplikasi kebijakan.
"Contoh, TGUPP di bidang KPK (Komite Pencegahan Korupsi), apakah kita tidak cukup dengan Inspektorat?" tanya dia.
Dinilai tak prioritaskan penanganan banjir
Usulan anggaran juga dinilai tidak memprioritaskan penanganan banjir di Jakarta.
"Skala prioritas kami lihat penanganan banjir kurang fokus. Tetapi alhamdullillah alam mendukung. (Tahun) 2020 kita perlu mengantisipasi, saya ingin menangih kepada Pemprov untuk (membayar ganti rugi) kepada warga sepanjang kali Ciliwung. Itu (sertifikatnya) pada sudah disandera Pemprov," kata anggota Banggar dari PDI-P, Gembong Warsono.
Gembong mengemukakan, ketika bertemu masyarakat yang berada di aliran Kali Ciliwung, sejumlah sertifikat rumah warga sudah diambil Pemprov DKI. Namun, ganti rugi belum dibayarkan sehingga warga kemudian mengambil kembali dokumen-dokumennya.
Karena Pemprov DKI Jakarta belum mempunyai solusi nyata mengatasi banjir, Gembong mengaku pernah disindir warga.
"Saya bersentuhan dengan warga saya di-kuyo-kuyo, kuyo kuyo apa ya? Diomelin warga. Kata warga percuma Gembong di situ kami tidak diurusi (soal banjir)," ujar Gembong diiringi tawa peserta rapat.
Anggaran tak transparan
Transparansi anggaran era kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga dipertanyakan.
Anggota Banggar Basri Baco membandingkan transparansi anggaran saat Anies memimpin dengan gubernur sebelumnya.
Menurut dia, sebelum Anies menjabat, APBD yang dirancang maupun disahkan terpampang di setiap kantor kelurahan sehingga bisa dilihat warga.
"Sekarang saya sepertinya dalam dua tahun ini tidak melihat itu," kata Basri dalam rapat tersebut.
Dia mencontohkan, rancangan anggaran dahulu dipajang salah satunya di kantor Kelurahan Menteng. Dengan cara tersebut, warga dapat mengetahui dan mengawasi anggaran.
"Saya rasa ini baik untuk membantu kinerja bapak ibu SKPD, jadi tidak terlalu pusing mengawasi kontraktor dan lain-lain," ujar ketua Fraksi Partai Golkar itu.
Anggota Banggar dari Fraksi PSI William Aditya Sarana juga menyebutkan bahwa dokumen KUA-PPAS seharusnya sudah diunggah di situs web resmi milik Pemprov DKI Jakarta, apbd.jakarta.go.id.
Namun, hingga saat ini baik anggota DPRD maupun publik belum bisa mengaksesnya.
"Kami ingin agar tahapan dokumen KUA-PPAS diunggah sehingga tidak hanya anggota DPRD, tapi publik juga mengetahui apalagi banyak yang baru seperti saya," ujar anggota termuda DPRD DKI tersebut.
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/10/24/10003361/dprd-dki-soroti-anggaran-pemprov-tak-transparan-hingga-kinerja-tgupp-yang