JAKARTA, KOMPAS.com - Cuaca mendung dan langit menghitam sejak siang sudah menyelimuti kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, Jumat (27/12/2019).
Hilir mudik berbagai kendaraan di jalan raya menambah gelap langit sore itu karena kepulan asap.
Sementara itu penjual terompet karton tampak menggelar lapak dagangannya, menyambut malam pergantian tahun 2019 ke 2020 yang tinggal empat hari lagi.
Lantur (55), misalnya, ia membuka lapak dengan ukuran 2x3 meter untuk berjualan terompet karton di dekat trotoar.
Tangan terampilnya yang penuh dengan lem sibuk merekatkan karton putih dengan hiasan berwarna emas dan dibentuk kerucut untuk menjadi sebuah terompet.
Sore nan gelap tidak menyurutkan semagat pria yang mengaku sudah berjualan terompet sejak 1987.
"Saya ikut orangtua dagang terompet sejak kecil, sejak dari almarhum bapak tahun 1980-an saya sudah ikut jualan. Kalau buat terompet sendiri, buka lapak gitu sudah sejak tahun 1987," ujar Lantur saat ditemui Kompas.com.
Lantur sesekali berusaha menggulung lengan baju koko putihnya yang agak kebesaran agar tidak terkena lem kertas saat membuat terompet.
Perlahan dia membuka cerita masa mudanya, sewaktu merintis usaha berjualan terompet di kawasan Kota Tua.
"Dari tahun 1987 sudah jualan di sini saya. Kalau dulu (Kota Tua) belum seramai sekarang, dulu masih sepi, lampu jalan masih kuning kondisinya kan belum lama ini diganti," tutur Lantur mengawali kisahnya.
Lantur mengaku, zaman semakin berganti. Menjual terompet kertas atau karton kian sulit laris seiring kehadiran terompet modern berbahan plastik.
"Dulu ramai pembeli, tidak seperti sekarang," ucap Lantur.
"Semakin ke sini, semakin sepi peminatnya," imbuhnya.
Lantur bukan tanpa inovasi untuk mengimbangi perubahan zaman. Berbagai kreasi terompet karton ia ciptakan, bahkan dijual lengkap dengan topi sebagai pemanis pesta pergantian tahun.
"Di sini terompet tiup asli buatan sendiri, bisa dilihat dari lem, kertas karton. Ada yang Rp 3.000, Rp 5.000, kalau model tiup samping ada Rp 7.000, ada yang Rp 5.000. Dalam pembuatan sih sehari bisa 100 terompet, tapi saya juga dagang ada topi kan jadi sepaket," ujar dia.
Terompet dagangan Lantur dipajang di rangka bambu yang disusun meninggi. Terompet tersebut dikaitkan dengan tali rafia agar tidak mudah tertiup angin. Kantong plastik pun sudah disediakan guna mengantisipasi datangnya hujan.
Sambil menghisap rokok kreteknya Lantur berpikir dan bergumam, mengapa kini dagangannya tidak selaris dulu.
Meski begitu, Lantur mengaku terus bersyukur atas rezeki yang diterima.
"Semakin ke sini semakin berkurang, tapi saya harus tetap semangat untuk berdagang, gitu. Jangan sampai hilang tradisi terompet kertas dan jualan ini," ucap Lantur.
"Tapi ya... namanya rezeki, Yang di Atas yang mengatur," tutupnya.
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/12/27/21151091/zaman-berganti-peminat-terompet-karton-tidak-seramai-dulu