Seorang pekerja yang sedang menggarap proyek double double-track (DDT) ini menemukan dua bangunan batu yang tersusun sepanjang 15 meter dengan ukuran panjang 28 centimeter dan lebar 15 centimeter.
Sementara, ketebalan batu itu sekitar 5 centimeter yang terpendam di bawah permukaan tanah. Bangunan yang diduga gorong-gorong itu tertutup lumpur hingga bebatuan.
Struktur bata berbentuk lorong di Stasiun Bekasi itu diperkirakan dahulunya adalah gorong-gorong peninggalan Belanda.
Lalu, seperti apa sejarah berdirinya Stasiun Bekasi itu?
Ketua Tim Ahli Cagar Budaya sekaligus Sejarawan Bekasi, Ali Anwar menceritakan, pembangunan Stasiun Bekasi dimulai pada 1880 dan selesai pada 1887.
Dahulunya, Stasiun Bekasi hanya dijadikan sebagai halte kecil atau perlintasan mobil.
Dahulu Kota Bekasi dikuasai tuan tanah dari Eropa dan China.
Melihat tanah Kota Bekasi sangat potensial untuk berkebun, akhirnya lahan-lahannya mulai banyak dibangun perkebunan gula, perkebunan karet, pabrik-pabrik industri hingga persawahan.
Stasiun Bekasi yang dahulunya halte kecil ini didirikan seiring adanya pembangunan rel kereta dari Jakarta Kota ke Jatinegara hingga Karawang.
Pembangunan rel kereta api dari wilayah Jakarta hingga sekitarnya guna dapat mempermudah pendistribusian produk-produk pangan tersebut.
“Jadi seperti halnya daerah-daerah lain pembangunan rel kereta api itu tidak lepas dari kepentingan kolonial tentang bisnis,” ujar Ali saat dihubungi, Rabu (12/8/2020).
Lintasan Stasiun Bekasi tak sebesar sekarang, dahulu lintasannya hanya muat untuk kereta muatan kecil zaman Belanda sekitar 2x2 meter.
Perlintasan kereta yang melintasi Lemahabang – Cibarusah – Jonggol. Kereta tersebut diberi nama Dogong.
Kereta dogong dibangun oleh tuan tanah sebagai akses transportasi pengiriman padi dari ke kawasan Cibarusah dan Cileungsi dari Cikampek.
Pembangunan rel kereta dogong ini dilakukan oleh tuan tanah karena saat itu jalan raya yang menghubungkan wilayah Lemahabang – Cibarusah kondisinya sangat tidak baik, tidak bisa dilalui mobil. Untuk menghemat biaya, maka dibangunlah kereta dogong tersebut.
Saat itu posisi Stasiun Bekasi dibangun di dekat pusat pemerintahan Bekasi, yakni di Alun-alun Bekasi.
“Waktu itu areanya alun-alun sudah ada, kenapa dibangun Stasiun Bekasi di wilayah situ karena sudah berbentuk kota, sudah ada kantor kejaksaan dan ada pabrik-pabrik. Bahkan perumahan juga sudah ada waktu itu,” kata dia.
Stasiun Bekasi pun direnovasi beberapa kali seiring perkembangan zaman. Pemugaran itu menyebabkan sentuhan arsitektur khas Belanda hilang.
"Kayak sekarang-sekarang ini (Stasiun Bekasi) bisa dikatakan enggak ada heritage-nya, tidak ada ciri khas stasiun itu, tidak seperti di Jatinegara dan Jakarta Kota. Sudah banyak terjadi perubahan mengikuti perubahan zaman," ucap Ali.
Secara fisik Stasiun Bekasi itu memang berubah, namun peninggalan Belanda di bawah tanah ini ternyata meninggalkan struktur bata berbentuk lorong. Lorong yang diduga dahulunya adalah gorong-gorong juga menjadi teka-teki.
Ali sendiri pun tak dapat membuktikan bahwa susunan batu bata adalah gorong-gorong peninggalan zaman Belanda.
Meski demikian, ia berharap Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) memeriksa dan meneliti struktur bata yang ada di perimeter Stasiun Bekasi.
Apabila benar struktur bata itu cagar budaya maka besar harapannya untuk dibuatkan heritages di Stasiun Bekasi sebagai tempat penyimpanan.
“Sehingga orang-orang bisa tahu bagaimana sejarah Stasiun Bekasi gitu,” tutur dia.
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/08/12/17464371/ada-temuan-bata-kuno-berbentuk-lorong-ini-kisah-di-balik-berdirinya