Beberapa fakta mulai terungkap setelah Astuti menjalani pemeriksaan oleh Dinas Kesehatan Kota Bekasi. Salah satunya fakta menyatakan bahwa Astuti adalah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
Fakta itu diperkuat oleh keterangan tetangga yang melihat keseharian Astuti. Latar belakang itulah yang diduga jadi penyebab Astuti lalai dalam mengurus anaknya sehingga sang buah hati meninggal.
Kompas.com merangkum beberapa fakta terkait perkembangan penangangan kasus Astuti.
1. Berstatus orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
Kepala Seksi Disabilitas Dinas Sosial Kota Bekasi Veny Dwi memastikan bahwa Astuti berstatus orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
"Kemarin hasil assessment (diketahui) dia ODGJ, tapi masih taraf ringan. Jadi mau kami rujuk ke RSJ Marzukir Mahdi Kota Bogor," kata Veny saat dikonfirmasi, Rabu (2/12/2020).
Dari pemeriksaan yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kota Bekasi terungkap bahwa Astuti sudah mengalami gangguan jiwa sejak kecil.
Kondisi itu terus berlanjut hingga Astuti beranjak dewasa dan berkeluarga.
Dalam kesehariannya, Astuti hidup bersama seorang suami yang bekerja sebagai juru parkir dan buah hatinya yang kini sudah meninggal.
Saat ini pihak Dinsos tengah melakukan persiapan guna merujuk Astuti ke RSJ Marzukir Mahdi guna mendapat perhatian lebih lanjut mengenai gangguan kejiwaannya.
2. Astuti tak pernah imunisasi anak
Nurlela selaku tetangga mengenal Astuti dengan suami sebagai sosok yang tertutup. Mereka jarang terlibat dalam aktivitas warga sekitar.
Bahkan ketika kader Posyandu datang ke rumah, Astuti langsung menutup pintu layaknya orang yang selalu menghindar.
Karena sikap itulah, putra Astuti tak pernah diberikan imunisasi selama dua tahun.
"Enggak pernah diimunisasi. Saya kan kader Posyandu, kalau kita datang ke rumah ya langsung ngunci pintu. Sekali pun enggak pernah diimunisasi anaknya," kata Nurlela saat ditemui di kediamannya di kawasan RW 07, Kelurahan Bojong Menteng, Kota Bekasi.
3. Sudah dilarang meminta-minta oleh suami dan tetangga
Astuti sebenarnya sudah menerimanya larangan dari sang suami dan tetangga kala membawa bayinya untuk mengemis. Namun, dirinya bersikukuh ingin mengemis sambil menggendong anak.
Padahal anaknya sudah dalam kondisi sakit.
"Memang sudah dilarang mengemis. Tapi karena ibunya keras kepala jadi enggak mau nurut. Sama warga juga dilarang, kasihan anaknya, tapi dia juga enggak nurut," kata Nurlela.
Astuti bersikukuh ingin mengemis demi membeli susu anaknya. Alasan itu yang selalu disebutkan wanita berusia 32 tahun itu kala terbentur izin suami.
4. Peran tetangga penting
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai peristiwa ini bisa saja dihindari andai tetangga sekitar bisa lebih peka terhadap kondisi anak-anak yang jadi korban eksploitasi.
"Anak harus dilindungi walaupun dari keluarga sendiri, seperti dibawa mengemis, dibawa jadi pemulung. Seharusnya ada reaksi cepat tetangga, perangkat desa, atau siapa pun yang melihat," kata Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia ( KPAI) Bidang Trafficking dan Eksploitasi Ai Maryati, Rabu (2/12/2020).
Dia mengaku cukup sulit mendeteksi anak yang jadi korban eksploitasi di dalam sebuah keluarga. Pasalnya, sering kali kondisi keluarga tampak normal jika dilihat secara umum.
"Otomatis kalau lingkungannya melihat kondisi keluarga normal-normal saja ya tidak terdeteksi," ujar dia.
Maka dari itu, tetangga harus peka dengan kondisi anak-anak di lingkungan tempat tinggalnya. Bahkan, Ai mengimbau warga tak ragu melaporkan ke polisi atau Dinas Sosial manakala menemukan anak yang jadi korban eksploitasi di lingkungan sekitar.
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/12/03/11491521/fakta-nur-astuti-anjaya-odgj-yang-anaknya-meninggal-saat-dibawa-mengemis