Penghasilan tak menentu. Pendidikan anak terpaksa tumbang karena pandemi Covid-19.
Waluyo beserta istri dan empat anaknya tinggal di pinggir bekas rel Manggarai-Jatinegara, tepatnya di Jalan Manggarai Selatan, Tebet, Jakarta Selatan.
Hidup di Ibu Kota memang harus siap fisik dan mental.
Namun urusan perut benar-benar harus yang pertama. Bahkan, harus mengalahkan pendidikan.
Waluyo adalah bapak dari empat anak. Ia dan keluarganya tinggal di bedeng reot yang jauh dari kata nyaman.
Untuk makan keluarganya, ia terpaksa menjual satu-satunya ponsel yang dimiliki.
“Handphone dulu Samsung J2 sudah dijual Rp 400.000. Yah dijual buat makan dan pas-pasan,” ujar Waluyo yang mengaku hanya lulusan Sekolah Rakyat.
Alhasil, anak sulungnya, Putra (11) tak lagi bersekolah. Tak bisa belajar virtual karena handphone Waluyo sudah dijual.
Bagi Waluyo, makan jauh lebih penting saat itu. Apalagi adik-adik Putra saat itu masih harus minum susu.
“Ya, sekolah berhenti dulu,” ujar Waluyo saat bercerita di pinggir rel.
Putra duduk di bangku sekolah kelas 6. Hingga kini, Putra belum bersekolah lagi.
Pihak sekolah belum tahu keberadaan Putra.
“Belum tahu sih, kalau tahu sih ke sini gurunya. Kan belum kasih tahu tempatnya digusur,” kata Waluyo sambil memeluk anak bontotnya, Galih (2).
Ia tak bisa berkata banyak tentang urusan pendidikan. Waluyo hanya pekerja serabutan.
Karena tinggal di pinggir rel, tidak ada aliran listrik di tempat tinggalnya. Setiap malam keluarganya bergantung kepada cahaya lilin.
Ia hanya berharap orang-orang seperti dirinya diperhatikan oleh pemerintah. Waluyo pun takut dengan Covid-19, tetapi ia hanya bisa berserah diri.
“Lilahitaala aja kalau urusan Covid-19,” ujar Waluyo sambil mengisap rokok dalam-dalam.
Bantuan sosial tak ia dapatkan karena ia ber-KTP Jawa. Uluran tangan hanya hadir di awal-awal pandemi Covid-19.
“Paling (bantuan) dari itu doang, orang-orang dari panti, yayasan. Dulu doang. Dulu sering pokoknya. Seminggu bisa tiga kali tapi sekarang sudah ngga ada,” ujar Waluyo.
Waluyo terbata-bata ketika memikirkan harapannya kepada pemerintah. Pria berambut gondrong tersebut hanya tertawa.
Ia mengaku lebih takut urusan kesehatan keluarganya daripada pendidikan anak. Jika anaknya sakit, Waluyo mengaku kebingungan.
“Ya pengen sih ada jaminan kesehatan ya. Namanya (urusan) kesehatan ya pingin,” kata Waluyo.
Sore itu, harapan Waluyo agar anaknya bisa bersekolah tetap bersinar. Tanpa pendidikan pun, hidup Waluyo akan terus bergerak.
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/03/15/11150091/cerita-keluarga-pinggir-rel-manggarai-berjuang-hanya-untuk-makan-anak