Salin Artikel

Obituari Radhar Panca Dahana: Berjuang untuk Seni dan Budaya Indonesia hingga Napas Terakhir

JAKARTA, KOMPAS.com - Budayawan sekaligus sastrawan Radhar Panca Dahana meninggal dunia pada usia 56 tahun, Kamis (22/4/2021).

Berita tersebut dikonfirmasi oleh anggota Forum Seniman Peduli Taman Ismail Marzuki (TIM) Noorca Massardi.

Radhar sendiri diketahui sebagai pimpinan Forum Seniman Peduli TIM.

"Innalillahi wainaillaihi roji’un, semoga amal ibadah almarhum Radhar Panca Dahana diterima Allah SWT amin," ujar Noorca saat dikonfirmasi Kompas.com, Kamis malam.

Noorca pun meneruskan pesan yang ia dapatkan dari kakak Radhar Panca, yakni Radhar Tribaskoro.

Dari pesan tersebut diketahui bahwa Radhar Panca wafat di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo (RSCM) Jakarta Pusat.

"Telah berpulang malam ini pk. 20.00 adik saya tercinta Radhar Panca Dahana di UGD RS Cipto Mangunkusumo. Mohon maaf atas semua kesalahan dan dosanya. Mohon doa agar ia mendapat tempat yang terbaik di sisiNya. Aamin YRA," demikian bunyi pesan Radhar Tribaskoro yang diteruskan oleh Noorca.

Belum diketahui pasti penyebab Radhar Panca meninggal dunia.

Akan tetapi, menurut Noorca, almarhum sudah lama memiliki penyakit ginjal dan harus berulang kali cuci darah di RSCM.

"Sudah berpuluh tahun gagal ginjal dan seminggu tiga kali cuci darah di RSCM," terangnya.

Didikan keras untuk sang penulis

Lahir di Jakarta, 26 Maret 1965, Radhar Panca merupakan anak kelima dari tujuh bersaudara di mana semuanya mempunyai nama depan yang sama.

Radhar sendiri adalah akronim dari nama kedua orang tuanya: Radsomo dan Suharti.

Menurut situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Radhar Panca memiliki masa kecil yang keras hasil didikan sang ayah yang pernah difitnah sebagai penyokong komunis.

Didikan otoriter sang ayah kepada Radhar Panca dan saudara-saudaranya membuat mereka sangat disiplin, terutama dalam belajar.

Sejak kecil, mereka telah diajari berhitung angka hingga jutaan.

Apabila melanggar aturan, mereka menerima hukuman berupa sabetan rotan dari Radsomo.

Radhar Panca ternyata tumbuh sebagai anak yang kerap membangkang sehingga paling sering dihukum ayahnya.

Salah satu yang menjadi perselisihan cukup panjang adalah ketika orangtuanya mengharapkan Radhar Panca menjadi pelukis.

Padahal, Radhar Panca sangat menyukai teater dan karya tulisan.

Sejak duduk di bangku sekolah dasar, Radhar Panca rutin mengirimkan tulisan ke berbagai media.

Dia pernah mengirim cerita pendek (cerpen) berjudul "Tamu Tak Diundang" ke Kompas ketika masih kelas 5 SD. Cerpen itu dimuat.

Bakat menulisnya membawa Radhar Panca menjadi redaktur tamu di majalah Kawanku saat duduk di bangku kelas 2 SMP.

Pada akhir 1970-an hingga 1980-an, Reza pun menjadi reporter di sejumlah media massa.

Namun, pekerjaannya sebagai jurnalis sempat harus berhenti karena orangtuanya melarangnya bekerja dan memintanya kembali ke bangku sekolah.

Setelah butuh enam tahun dan tiga sekolah untuk menamatkan pendidikannya di SMA, Radhar Panca menyelesaikan studi di jurusan sosiologi Universitas Indonesia.

Lalu, pada 1997, Radhar Panca melanjutkan studi di Ecole des Hautes Etudes en Science Sociales, Prancis.

Baru setahun, Radhar Panca memutuskan pulang ke Indonesia dan tidak menuntaskan studinya yang seharusnya mencapai tingkat doktoral.

Alasannya, ia terlalu sedih melihat kondisi Indonesia yang sedang dalam kekacauan politik dan ketidakstabilan keamanan tahun 1998.

Sepulangnya dari Prancis, Radhar Panca justru divonis mengalami gagal ginjal kronis dan pembunuhan sel ginjal secara perlahan.

Dokter menyatakan dua buah ginjalnya sudah mati.

Hidup untuk teater dan budaya

"Sepertinya ada ketidakpedulian, bisa jadi kebebalan. Puluhan tahun memperjuangkan kebudayaan menjadi fondasi cara kita membangun negara, manusia dan bangsa di dalamnya, hasilnya hampir nihil bahkan negatif."

Begitu isi paragraf pembuka tulisan Radhar Panca berjudul "Sakratul Maut Seni-Budaya" yang dimuat di Harian Kompas edisi Selasa (21/1/2020).

Radhar Panca memang salah satu budayawan yang tak kenal lelah berjuang menjaga kelestarian budaya Indonesai.

Keprihatinan Radhar Panca terhadap budaya yang telah tergerus sudah ia cetuskan sejak awal 1990-an.

Dia menuliskan keluh kesahnya soal teater modern yang mengalami kemunduran dalam tulisan berjudul "Mencari Teater Modern Indonesia".

Tulisan itu dimuat di Kompas edisi 27 Februari 1994.

Dalam tulisannya kala itu, Radhar Panca berpendapat bahwa sudah 2 dekade teater modern tidak punya penerus.

"Sebuah kenyataan, bahwa mereka yang dianggap wakil paling kuat dari kesenian ini adalah nama-nama yang sudah bertengger sejak 1970, bahkan sebelumnya. Artinya, lebih dari dua dekade teater modern Indonesia tak melahirkan nama baru, kecuali kasus seperti Boedi S. Otong dan Dindon."

"Semua seolah memperlihatkan kegagalan para pionir teater modern di negeri ini, menyampaikan tongkat estafetnya pada mereka yang berlari di lintasan berikut. Tongkat yang menyimpan sejarah, konsep, keyakinan estetik, kemampuan artistik dan sebagainya itu tersimpan baik di balik bantal, dan mungkin kini lapuk," tulisnya.

Sembari menyerukan keluh kesah terhadap mundurnya kebudayaan, Radhar Panca giat memperlihatkan kebudayaan terutama karyanya sendiri.

Cerpen, puisi, hingga panggung teater. Radhar Panca mengabdikan dirinya untuk seni dan budaya Indonesia.

Seperti pertunjukan teater-sastra "LaluKau" di mana Radhar Panca memanggungkan puisi-puisi karyanya pada 19 Februari 2020, aksi terakhirnya di pentas.

Perjuangan Radhar Panca tak hanya soal mempertahankan seni dan budaya itu sendiri.

Pada November 2019, ia dan rekan-rekannya sesama seniman di TIM menyatakan penolakan keterlibatan PT Jakarta Propertindo (Jakpro) untuk mengelola kawasan dan fasilitas di sana, termasuk wacana pembangunan hotel bintang lima.

Kawasan di TIM, oleh Jakpro, akan dikomersialkan. Hal ini yang menyulut kecaman para seniman termasuk Radhar Panca.

”Jangan sampai pemerintah memaksakan kehendak dan kepentingannya atas kerja kesenian dan kebudayaan semata-mata untuk keuntungan politik atau keuntungan finansial,” kata Radhar Panca, Minggu (24/11/19).

Radhar Panca Dahana kini telah tiada. Pejuang kelestarian seni dan budaya Indonesia itu meninggalkan pertanyaan dalam tulisan "Sakratul Maut Seni-Budaya" yang entah kapan dapat menemukan jawaban.

"Saya tidak tahu sampai kapan kedegilan pemerintah ini terjadi? Apakah hingga kebudayaan dimakamkan, dan bangsa menjadi mayat, atau zombi yang hidup hanya untuk menciptakan keburukan dan kebobrokan? Sesuatu yang indikasinya terlihat saat ini, di sekitar, mungkin dalam diri kita?" ungkap Radhar Panca.

https://megapolitan.kompas.com/read/2021/04/22/23282861/obituari-radhar-panca-dahana-berjuang-untuk-seni-dan-budaya-indonesia

Terkini Lainnya

Harga Bawang Merah Melonjak, Pemprov DKI Bakal Gelar Pangan Murah

Harga Bawang Merah Melonjak, Pemprov DKI Bakal Gelar Pangan Murah

Megapolitan
Pemprov DKI Diminta Lindungi Pengusaha Warung Madura Terkait Adanya Permintaan Pembatasan Jam Operasional

Pemprov DKI Diminta Lindungi Pengusaha Warung Madura Terkait Adanya Permintaan Pembatasan Jam Operasional

Megapolitan
Kronologi Brigadir RAT Bunuh Diri Pakai Pistol di Dalam Alphard

Kronologi Brigadir RAT Bunuh Diri Pakai Pistol di Dalam Alphard

Megapolitan
Polisi Pastikan Kasus Dugaan Pemerasan Firli Bahuri Masih Terus Berjalan

Polisi Pastikan Kasus Dugaan Pemerasan Firli Bahuri Masih Terus Berjalan

Megapolitan
Brigadir RAT Diduga Pakai Pistol HS-9 untuk Akhiri Hidupnya di Dalam Mobil

Brigadir RAT Diduga Pakai Pistol HS-9 untuk Akhiri Hidupnya di Dalam Mobil

Megapolitan
Korban: Guling yang Dicuri Maling Peninggalan Almarhum Ayah Saya

Korban: Guling yang Dicuri Maling Peninggalan Almarhum Ayah Saya

Megapolitan
Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Megapolitan
Khawatir Rumahnya Diambil Pemerintah, Banyak Warga Tanah Tinggi Tak Ikut Program 'Bebenah Kampung'

Khawatir Rumahnya Diambil Pemerintah, Banyak Warga Tanah Tinggi Tak Ikut Program "Bebenah Kampung"

Megapolitan
Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Pakai Senpi, Peluru Tembus dari Pelipis Kanan ke Kiri

Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Pakai Senpi, Peluru Tembus dari Pelipis Kanan ke Kiri

Megapolitan
Maling Guling Beraksi di Cinere, Korban: Lucu, Kenapa Enggak Sekalian Kasurnya!

Maling Guling Beraksi di Cinere, Korban: Lucu, Kenapa Enggak Sekalian Kasurnya!

Megapolitan
Kronologi Pengendara Moge Tewas Terlindas Truk Trailer di Plumpang

Kronologi Pengendara Moge Tewas Terlindas Truk Trailer di Plumpang

Megapolitan
Mayat Bayi di Tanah Abang, Diduga Dibuang Ayah Kandungnya

Mayat Bayi di Tanah Abang, Diduga Dibuang Ayah Kandungnya

Megapolitan
2 Pria Rampok Taksi 'Online' di Kembangan untuk Bayar Pinjol

2 Pria Rampok Taksi "Online" di Kembangan untuk Bayar Pinjol

Megapolitan
Heru Budi: Jakarta Bisa Benahi Tata Kota jika Pemerintahan Pindah ke IKN

Heru Budi: Jakarta Bisa Benahi Tata Kota jika Pemerintahan Pindah ke IKN

Megapolitan
Polda Metro Jadwalkan Pemeriksaan Pendeta Gilbert Lumoindong Terkait Dugaan Penistaan Agama

Polda Metro Jadwalkan Pemeriksaan Pendeta Gilbert Lumoindong Terkait Dugaan Penistaan Agama

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke