Sebelum menjadi Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta, lokasi tersebut memiliki cerita masa lalu yang kelam.
Puluhan tahun lalu, kawasan tersebut merupakan lokalisasi Kramat Tunggak yang disebut sebagai lokalisasi terbesar di Asia Tenggara pada era 1970-1999.
Kompas.com pada 16 Februari 2016 memberitakan, lokalisasi Kramat Tunggak awalnya merupakan Lokasi Rehabilitasi Sosial (Lokres) Kramat Tunggak yang diresmikan Gubernur DKI Jakarta kala itu, Ali Sadikin.
Awalnya, lokres itu dibangun untuk membina pekerja seks di Jakarta yang kebanyakan berasal dari Pasar Senen, Kramat, dan Pejompongan.
Alih-alih jadi tempat pembinaan, lokasi berkumpulnya para pekerja seks di sana malah menjadi lahan basah bagi sejumlah muncikari untuk membujuk para pekerja seks kembali bekerja sebagai wanita penghibur.
Pada tahun 1990-an, tercatat lokalisasi Kramat Tunggak dihuni oleh lebih dari 2.000 pekerja seks dengan pengawasan 258 muncikari dan 700 orang pembantu pengasuh, 800 pedagang asongan, dan 155 orang tukang ojek.
Keberadaan tempat itu tentu saja membuat gerah masyarakat yang tinggal di sekitarnya.
Mereka pun mendesak agar lokalisasi Kramat Tunggak ditutup.
Menanggapi desakan itu, Gubernur DKI Jakarta kala itu, Sutiyoso, memutar otak, melakukan pendekatan dengan membentuk sebuah tim yang bertugas membuat rekayasa sosial.
"Tim itu untuk memetakan rekayasa sosial, apa sih dampak saat Kramat Tunggak dibongkar, gimana muncikarinya, PSK-nya, akibat pembongkaran terhadap warga yang menggantungkan hidup sehari-hari cari nafkah di lokalisasi itu," kata mantan anggota Tim Kajian Pembongkaran Kramat Tunggak Ricardo Hutahean kepada Kompas.com pada 2016.
Sebelum penggusuran dilakukan, para muncikari ditawari uang ganti rugi, sedangkan ribuan PSK diberi pendampingan selama lima tahun.
"Mereka juga difasilitasi untuk melakukan kegiatan setelah pensiun dari PSK. Ikut kursus menjahit, masak, tata boga, dan lain-lain," tutur Ricardo.
Dilansir Kompas edisi 17 Oktober 2005, Kramat Tunggak secara resmi ditutup Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 31 Desember 1999.
Sutiyoso kemudian melontarkan ide mendirikan Jakarta Islamic Centre yang didiskusikan dalam forum bersama berbagai elemen masyarakat pada 2001.
Dalam perencanaan pembangunan JIC, pada Agustus 2002 dilakukan studi komparasi ke Islamic Centre di Mesir, Iran, Inggris, dan Perancis.
Dirancang oleh arsitek spesialis masjid Ahmad Numan atau Ir Muhammad Numan, masjid ini berdiri di atas lahan seluas 109.435 meter persegi, dengan luas bangunan masjid 2.200 meter persegi yang dapat menampung hingga 20.680 jemaah.
Mengutip Ensiklopedia Jakarta, JIC diresmikan oleh Sutiyoso pada 4 Maret 2003.
JIC kini menjadi simbol keberhasilan perubahan hitam ke putih sebuah struktur sosial.
Ingar bingar dunia gemerlap yang melekat di kawasan itu perlahan memudar dan digantikan dengan lantunan suara anak manusia melafalkan ayat-ayat Al Quran.
"Kalau kita ingin berubah, kita bisa. Kalau masyarakat menghendaki yang hitam menjadi putih dan pemerintah merespons, tidak ada yang tidak bisa berubah. Contohnya adalah Kramat Tunggak yang sekarang ini menjadi bangunan kompleks Jakarta Islamic Centre," kata Kepala Badan Pengelola Jakarta Islamic Centre saat itu, H Djailani, 11 Oktober 2005.
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/05/07/11122931/sejarah-jakarta-islamic-centre-eks-kramat-tunggak-lokalisasi-terbesar-di