Salin Artikel

Warga Bantargebang Bergumul dengan Bau Setiap Hari, Air Tanah pun Sudah Tercemar

BEKASI, KOMPAS.com - Saat ini, ketinggian timbunan sampah di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, sudah mencapai batas maksimal.

Ketinggian sampah di area seluas 104 hektar itu sudah mencapai 50 meter. Setiap harinya, 7.400 ton sampah dikirim ke area tersebut, mayoritas datang dari Ibu Kota.

Gundukan sampah di TPST Bantargebang sudah menyerupai bukit kecil, sebagaimana yang terlihat dalam foto udara yang diambil fotografer Harian Kompas berikut.

Kondisi TPST Bantargebang yang kelebihan kapasitas menjadi perhatian banyak pihak. Hanya saja, kondisi masyarakat sekitar jarang tersentuh media.

Kali ini, pembaca akan disuguhkan realita yang terjadi pada warga yang tinggal di sekitar TPST Bantargebang, berdasarkan laporan yang dibuat BBC.com pada akhir 2018 lalu.

“Uang bau” tak sepadan dengan risiko yang dialami warga

Belum apa-apa, bau menyengat sudah keluar dari gundukan-gundukan sampah dan menyerang kawasan tempat tinggal warga di sekeliling TPST Bantargebang.

Meskipun terletak di Kota Bekasi, status tanah TPST BAntargebang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Pemprov DKI kemudian berkewajiban membayar kompensasi untuk ribuan keluarga yang tinggal di sekitar daerah Bantargebang sebagai ganti rugi dari dampak bau sampah.

'Uang bau,' begitu mereka menyebutnya, diterima setiap keluarga tiga bulan sekali dengan besaran Rp900.000. Artinya, tiap bulan, masing-masing keluarga mendapat jatah Rp300.000 sebagai ganti rugi dari dampak bau sampah Bantargebang.

Meski telah mendapat dana kompensasi, sejumlah warga Bantargebang mengeluhkannya dan menyatakan uang yang mereka terima tak sebanding dengan apa yang mereka alami setiap hari.

"Belum cukup. Risikonya tuh besar, masalah kesehatan buat kitanya. Pokoknya belum cukup sepadan, takutnya kan ada kejadian longsor, banjir, apa gitu," tutur Elisa, seorang warga yang tinggal 300 meter dari titik pembuangan sampah Bantargebang.

Pemilik warung makan itu mengatakan, aroma sampah kerap tercium dari tempat ia berjualan. Demi mengompensasi hal tersebut, Elisa terpaksa harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli wangi-wangian dan disinfektan.

"Berhubung saya jual nasi kan kebersihannya harus ekstra. Makanan juga harus ditutup," lanjutnya.

Dia berharap, dana kompensasi bisa ditambah untuk dana kesehatan warga. 

Seorang warga lain yang tinggal dekat TPST Bantargebang, Kaci, mengatakan ia kerap mengalami pusing dan sakit kepala karena menghirup udara yang sangat bau. Ia berharap, uang bau yang ada cukup untuk memfasilitasi kesehatan warga.

“Pengennya mah ada penunjangan lagi, misalnya biar buat berobat anak-anak dan cucu,” ujar perempuan 57 tahun itu.

Secara terpisah, Pemerintah Kota Bekasi meminta DKI Jakarta untuk lebih memperhatikan kesehatan, pendidikan, dan sistem air bersih di Bantargebang.

Air tercemar

Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL) pada 2005 mengeluarkan laporan tentang air sumur di sekitar TPST Bantargebang yang tercemar air lindi sampah sehingga tak layak konsumsi.

"Air sumur warga yang tinggal dalam radius sampai lima kilometer dari TPA Bantar Gebang berwarna kekuning-kuningan atau coklat, rasanya tak enak, dan terkadang berbau,” papar Koordinator Solidaritas Masyarakat untuk Transformasi Sosial Kota Bekasi M Dony Prestanto dalam laporan tersebut.

“Persoalannya karena pengolahan air lindi sampah di TPA Bantar Gebang sampai saat ini tak pernah beres sehingga mencemari tanah dan merembes ke sumur-sumur warga," imbuhnya.

Situasi ini memaksa warga untuk membeli air bersih dari uang mereka sendiri untuk konsumsi sehari-hari.

Baru pada 2017 lalu, Pemprov DKI Jakarta menandatangani kesepakatan dengan Pemkot Bekasi untuk menyediakan jaringan sumur artesis di Bantargebang untuk penyediaan air bersih gratis.

Kondisi tanah yang sudah tercemar di sekitar Bantargebang memerlukan kerja ekstra agar air bersih bisa tercapai. Sumur yang dibuat harus mencapai kedalaman lebih dari 60 meter dan itu perlu biaya besar.

Dalam kesepakatan di atas tertulis bahwa DKI menganggarkan Rp 25 miliar untuk membuat sumur artesis di tiga kelurahan di Bantargebang, yakni Ciketingudik, Cikuwul, dan Sumurbatu.

Artikel di atas telah tayang di BBC.com dengan judul “'Uang Bau' tak memadai, cerita warga Bantar Gebang yang terdampak bau sampah”.

https://megapolitan.kompas.com/read/2021/09/21/18583831/warga-bantargebang-bergumul-dengan-bau-setiap-hari-air-tanah-pun-sudah

Terkini Lainnya

Harga Bawang Merah Melonjak, Pemprov DKI Bakal Gelar Pangan Murah

Harga Bawang Merah Melonjak, Pemprov DKI Bakal Gelar Pangan Murah

Megapolitan
Pemprov DKI Diminta Lindungi Pengusaha Warung Madura Terkait Adanya Permintaan Pembatasan Jam Operasional

Pemprov DKI Diminta Lindungi Pengusaha Warung Madura Terkait Adanya Permintaan Pembatasan Jam Operasional

Megapolitan
Kronologi Brigadir RAT Bunuh Diri Pakai Pistol di Dalam Alphard

Kronologi Brigadir RAT Bunuh Diri Pakai Pistol di Dalam Alphard

Megapolitan
Polisi Pastikan Kasus Dugaan Pemerasan Firli Bahuri Masih Terus Berjalan

Polisi Pastikan Kasus Dugaan Pemerasan Firli Bahuri Masih Terus Berjalan

Megapolitan
Brigadir RAT Diduga Pakai Pistol HS-9 untuk Akhiri Hidupnya di Dalam Mobil

Brigadir RAT Diduga Pakai Pistol HS-9 untuk Akhiri Hidupnya di Dalam Mobil

Megapolitan
Korban: Guling yang Dicuri Maling Peninggalan Almarhum Ayah Saya

Korban: Guling yang Dicuri Maling Peninggalan Almarhum Ayah Saya

Megapolitan
Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Megapolitan
Khawatir Rumahnya Diambil Pemerintah, Banyak Warga Tanah Tinggi Tak Ikut Program 'Bebenah Kampung'

Khawatir Rumahnya Diambil Pemerintah, Banyak Warga Tanah Tinggi Tak Ikut Program "Bebenah Kampung"

Megapolitan
Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Pakai Senpi, Peluru Tembus dari Pelipis Kanan ke Kiri

Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Pakai Senpi, Peluru Tembus dari Pelipis Kanan ke Kiri

Megapolitan
Maling Guling Beraksi di Cinere, Korban: Lucu, Kenapa Enggak Sekalian Kasurnya!

Maling Guling Beraksi di Cinere, Korban: Lucu, Kenapa Enggak Sekalian Kasurnya!

Megapolitan
Kronologi Pengendara Moge Tewas Terlindas Truk Trailer di Plumpang

Kronologi Pengendara Moge Tewas Terlindas Truk Trailer di Plumpang

Megapolitan
Mayat Bayi di Tanah Abang, Diduga Dibuang Ayah Kandungnya

Mayat Bayi di Tanah Abang, Diduga Dibuang Ayah Kandungnya

Megapolitan
2 Pria Rampok Taksi 'Online' di Kembangan untuk Bayar Pinjol

2 Pria Rampok Taksi "Online" di Kembangan untuk Bayar Pinjol

Megapolitan
Heru Budi: Jakarta Bisa Benahi Tata Kota jika Pemerintahan Pindah ke IKN

Heru Budi: Jakarta Bisa Benahi Tata Kota jika Pemerintahan Pindah ke IKN

Megapolitan
Polda Metro Jadwalkan Pemeriksaan Pendeta Gilbert Lumoindong Terkait Dugaan Penistaan Agama

Polda Metro Jadwalkan Pemeriksaan Pendeta Gilbert Lumoindong Terkait Dugaan Penistaan Agama

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke