TANGERANG, KOMPAS.com - Satgas Udara Covid-19 Bandara Soekarno-Hatta mengungkapkan kelakuan wisatawan dari luar negeri yang meminta dikarantina kesehatan di Wisma Atlet.
Penumpang dari luar negeri yang bukan pekerja migran Indonesia, pelajar, atau aparatur sipil negara (ASN) diketahui wajib melakukan karantina kesehatan di hotel yang berbayar.
Ketentuan soal karantina kesehatan tersebut tercantum dalam surat edaran (SE) Satgas Covid-19 Nomor 25 Tahun 2021.
Terpaksa masukkan wisatawan
Komandan Satgas Udara Covid-19 Bandara Soekarno-Hatta Letkol Agus Listiono mengaku terpaksa memasukkan penumpang dari luar negeri ke Wisma Atlet untuk menjalani karantina kesehatan.
Syaratnya, mereka ditempatkan di akhir antrean.
"Yang bersangkutan (wisatawan) itu tidak berhak untuk (karantina) di wisma," ucap Agus dalam rekaman suara, Rabu (22/12/2021).
"Saya memiliki antisipasinya. Dia saya sendirikan, saya kelompokkan, untuk mengikuti jalur setelah yang berhak ke wisma. Dia yang paling terakhir untuk saya kirim ke Wisma (Atlet)," sambung dia.
Menurut dia, banyak wisatawan, terutama warga negara Indonesia (WNI), yang tak memahami aturan soal kelompok yang berhak menjalani karantina kesehatan di Wisma Atlet.
Tak sedikit di antara mereka yang memaksa untuk dikarantina di sana.
"Banyak wisatawan khususnya WNI yang tidak memahami siapa saja yang boleh ke wisma. Namun, dia memaksakan diri ke wisma," ujar Agus.
Khawatir disebut arogan
Agus mengungkapkan, per harinya, ada 50-60 wisatawan yang memaksa untuk dimasukkan ke Wisma Atlet.
Menurut Agus, pada Selasa (21/12/2021), ada 57 wisatawan yang akhirnya dimasukkan ke Wisma Atlet.
Saat ditanya apakah diizinkannya para wisatawan untuk karantina di Wisma Atlet adalah bentuk pelonggaran, Agus membantahnya.
Dia khawatir disebut arogan sehingga mengizinkan para wisatawan karantina di wisma.
"Bukan ada kelonggaran. Mau tidak mau, apabila Mas itu kan bagaimana? Digitukan (tidak diizinkan karantina di Wisma Atlet) aja, saya dibilang tidak manusiawi. Nanti saya sebagai petugas dibilang arogan," ucap dia.
Alasan karantina di Wisma Atlet
Agus mengungkapkan, wisatawan dari luar negeri yang memaksa menjalani karantina kesehatan di Wisma Atlet beralasan tidak memiliki uang.
"Alasannya uang, rata-rata itu (wisatawan minta karantina di Wisma Atlet) endak punya uang," kata Agus.
Padahal, menurut Agus, mereka yang meminta untuk karantina secara gratis bertolak belakang dengan penampilannya atau latar belakang perjalanannya di luar negeri.
"Dari segala penampilan glamor dan sebagainya, itu bisa ke luar negeri, jalan-jalan. Dilihat dari paspornya, dilihat dari penampilan, itu berhak (karantina) di hotel, bukan karantina di wisma," papar dia.
Pihaknya pun tak memiliki solusi untuk wisatawan yang mengaku tidak memiliki duit dan meminta untuk karantina di Wisma Atlet.
Bantah ada calo hotel
Beberapa hari lalu, seorang penumpang perempuan mengatakan bahwa ada calo karantina kesehatan di Bandara Soekarno-Hatta yang menawarkan harga hingga Rp 19 juta.
Pernyataan itu terekam dalam video dan beredar di aplikasi pengirim pesan WhatsApp.
Menanggapi hal tersebut, Agus mengeklaim bahwa tidak ada calo yang beredar di Bandara Soekarno-Hatta.
"Nah, itu dia enggak ngerti. Kita tidak bisa di sini main-main calo. Semua adalah by system," ujar Agus.
Dia mengatakan, terdapat kode bar yang harus dipindai oleh penumpang setibanya dari luar negeri di Bandara Soekarno-Hatta.
Setelah memindai kode bar, terlihat penumpang tersebut harus menjalani karantina di Wisma Atlet atau di hotel.
Selain ada kode bar itu, terpampang pula daftar hotel bintang 2-5 yang dapat digunakan sebagai lokasi karantina kesehatan oleh penumpang yang bukan PMI, pelajar, atau ASN.
"Hotel bintang 5 sampai hotel bintang 2 dan di situ ada harganya. Gimana bisa kita main calo? Pembayarannya bisa di hotel dan bisa di situ," ujar Agus.
"Kenapa mahal, kalau menurut kami, melihat dengan kenyataan yang ada bisa ke luar negeri, harusnya bisa bayar hotel," sambung dia.
Agus menuturkan, harga hotel karantina paling murah dipatok Rp 7 juta untuk 10 hari.
Menurut dia, harga jutaan rupiah itu terdiri dari berbagai fasilitas yang berbeda dengan pengunjung hotel pada umumnya.
"Kalau umpama Rp 7 juta (untuk) 10 hari, kan cuma Rp 700.000 per hari. Kalau Rp 700.000 di hotel itu dengan tes PCR dua kali, makan tiga kali sehari, service, laundry. Itu yang menjadikan tampaknya mahal," tutur Agus.
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/12/23/07322441/ironi-kelakuan-wisatawan-dari-luar-negeri-minta-karantina-gratis-tetapi