JAKARTA, KOMPAS.com - Akhir Desember 2020, publik dihebohkan dengan insiden penembakan yang terjadi di tol Km 50 Jakarta-Cikampek.
Sebanyak 6 anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) tewas tertembak oleh aparat kepolisian.
Pada awalnya, Polda Metro Jaya menyatakan bahwa insiden itu adalah baku tembak, dan anggotanya dalam keadaan membela diri.
Sementara pihak FPI berkeyakinan keenam laskar FPI itu dibantai secara keji oleh aparat dan itu merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia berat.
Proses hukum dan persidangan yang berjalan setelahnya kemudian perlahan-lahan mengungkap fakta sebenarnya pada malam insiden berdarah itu.
Adapun insiden ini bermula dari tidak hadirnya pimpinan FPI Muhamad Rizieq Shihab dalam pemeriksaan sebagai saksi terkait kasus pelanggaran protokol kesehatan untuk kedua kalinya.
Polda Metro Jaya pun menerima informasi dari masyarakat dan media sosial yang menyebut bahwa simpatisan Rizieq Shihab bakal menggeruduk Mapolda Metro Jaya serta melakukan aksi anarkistis.
Oleh karenanya, Polda Metro Jaya memerintahkan sejumlah anggotanya menyelidiki rencana penggerudukan tersebut.
Namun dalam kegiatan penyelidikan, anggota kepolisian mendapatkan perlawanan dan tindakan kekerasan dari pihak anggota Laskar FPI.
Kronologi yang Diungkap di Pengadilan
Kronologi di malam insiden berdarah itu diungkap oleh jaksa penuntut umum dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada 18 Oktober 2021.
Mulanya, terjadi baku tembak antara para laskar FPI dengan pihak kepolisian. Baku tembak itu menyebabkan dua laskar FPI yaitu Ahmad Sukur dan Andi Oktiawan meninggal dunia.
Ipda Yusmin, Briptu Fikri serta Ipda Elwira kemudian melakukan pengejaran terhadap laskar FPI lainnya.
Ketiganya lantas berhasil melumpuhkan empat anggota FPI lainnya yakni Muhammad Reza, Akhmad Sofiyan, Luthfi Hakim, dan Muhammad Suci Khadavi.
Keempat anggota FPI itu lantas dimasukkan ke mobil Daihatsu Xenia dengan nomor polisi B-1519-UTI untuk dibawa dan dimintai keterangan di Polda Metro Jaya.
Namun ketiga anggota polisi itu bertindak tak sesuai SOP, mereka tidak memborgol atau mengikat tangan para laskar FPI.
Dalam kronologi yang diungkap jaksa, salah seorang di antara keempat anggota FPI, yakni M Reza, berupaya merebut senjata api dari Fikri ketika di dalam mobil, dibantu oleh Luthfi Hakim.
Sementara, dua orang lainnya, M Suci Khadavi dan Akhmad Sofiyan mengeroyok Fikri dengan menjambak rambutnya.
Fikri kemudian meminta tolong kepada Yusmin dan Elwira yang duduk di kursi depan. Yusmin pun mengurangi kecepatan mobil dan memberikan isyarat kepada Elwira.
"Mendegar teriakan (Fikri) tersebut, Yusmin menoleh ke belakang dan memberikan aba-aba atau isyarat kepada Elwira dengan mengatakan, 'Wir, Wir, awas, Wir' sambil mengurangi kecepatan kendaraannya agar Elwira dengan leluasa melakukan penembakan," ucap jaksa.
Elwira lantas menembak Luthfi Hakim sebanyak empat kali ke dada kiri hingga menembus pintu mobil.
Selain itu, Elwira juga menembak Akhmad Sofiyan sebanyak dua kali di dada kiri hingga tembus ke kaca bagasi mobil.
Jaksa mengatakan, saat itu kondisi sudah terkendali, tapi Fikri mengambil senjatanya dan menembak mati dua orang anggota FPI yang tersisa yaitu M Suci Khadavi dan M Reza yang duduk di kursi belakang.
M Reza ditembak dua kali di dada kiri, sedangkan M Suci Khadavi ditembak di dada kiri sebanyak tiga kali.
Setelah empat anggota FPI itu tewas, Yusmin baru menepikan mobil ke bahu jalan tol. Ia pun turun untuk menelepon saksi Kompol Ressa F Maradsa Bessy dan melaporkan peristiwa telah terjadi.
Ketiga anggota kepolisian ini kemudian diperintahkan untuk membawa empat anggota FPI itu ke RS Polri.
Proses hukum terhadap para anggota kepolisian yang terlibat insiden tersebut pun berjalan. Namun salah satu tersangka yakni Ipda Elwira Priadi Z, meninggal dunia pada 4 Januari 2021 sehingga penyidikan terhadap dirinya dihentikan.
Akhirnya tersisa dua orang yang duduk di kursi terdakwa, yakni Ipda Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan.
Pada persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, 22 Februari 2022, keduanya dituntut 6 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum (JPU).
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 6 tahun dengan perintah terdakwa segera ditahan,” ucap jaksa kala itu.
Dalam tuntutannya, jaksa menyebut bahwa Yusmin dan Fikri sebagai anggota kepolisian abai dalam menggunakan senjata api.
Keduanya didakwa Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 351 Ayat (3) KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Atas tuntutan tersebut, kuasa hukum kedua terdakwa kemudian memutuskan untuk mengajukan pleidoi atau pembelaan. Namun demikian, pada persidangan yang digelar Jumat (18/3/2022), kedua divonis lepas.
Majelis hakim dalam putusannya menyatakan Briptu Fikri dan Ipda Yusmin bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan hingga membuat orang meninggal dunia.
Namun, kedua terdakwa tidak dijatuhi hukuman karena alasan pembenaran, yakni menembak untuk membela diri, sebagaimana disampaikan dalam pleidoi atau nota pembelaan kuasa hukum.
Dengan demikian, majelis hakim memutuskan melepaskan kedua terdakwa dari tuntutan hukum dan memulihkan kedudukan, hak, dan martabatnya.
"Menyatakan kepada terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana karena adanya alasan pembenaran dan pemaaf," ujar hakim.
Atas putusan itu jaksa memutuskan untuk pikir-pikir. Sementara, diwakili kuasa hukumnya Henry Yosodiningrat, kedua terdakwa menyatakan menerima putusan itu.
“Kami menerima putusan itu Yang Mulia,” ucap Henry.
Bukan Pelanggaran HAM Berat
Jauh sebelum vonis lepas yang dijatuhkan hakim, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga sudah menyelidiki dan membuat kesimpulan atas insiden di KM 50 ini.
Komnas HAM menyatakan memang ada pelanggaran HAM dalam peristiwa itu, karena empat dari enam anggota laskar FPI tewas ketika sudah dalam penguasaan aparat kepolisian.
Namun Komnas HAM menegaskan insiden penembakan itu tak bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik pada 14 Maret 2021 lalu mengatakan, pihaknya tidak menemukan bukti pelanggaran HAM berat dalam penembakan 6 laskar FPI oleh pihak kepolisian.
Taufan menjelaskan, berdasarkan Statuta Roma, suatu kasus dapat dikategorikan masuk dalam kriteria pelanggaran HAM berat ketika tindakan penyerangan dan pembunuhan itu merupakan hasil dari sebuah kebijakan atau lembaga negara.
"Kalau kita lihat kasus (penembakan 6 laskar) FPI apakah ada kebijakan dalam hal ini kepolisian atau lembaga negara ya Presiden begitu? Itu tidak kita temukan," ujar Taufan.
Taufan melanjutkan, bahwa Komnas HAM hanya menemukan perintah dari pihak kepolisian untuk melakukan penguntitan.
"Ada perintah penguntitan kami temukan, bukan penyerangan dan pembunuhan pada masyatakat sipil. Kalau itu (perintah penguntitan) diakui. Polda Metro Jaya juga tunjukan pada kami surat perintahnya," papar Taufan.
https://megapolitan.kompas.com/read/2022/03/19/06000061/akhir-dari-insiden-penembakan-laskar-fpi-dinyatakan-bukan-pelanggaran-ham