JAKARTA, KOMPAS.com - Penipuan jasa titip (jastip) masih terus terjadi. Meskipun platform ini tidak ada jaminan keamanan dan kepercayaan, pasar bisnis jastip masih terus diminati, khususnya di Indonesia.
Sayangnya, tak jarang bisnis ini dimanfaatkan oleh sekelompok orang tak bertanggung jawab untuk melancarkan kejahatan berkedok jastip.
Teranyar, penipuan berkedok jastip kembali mencuat setelah sejumlah korbannya angkat bicara di media sosial. Cerita orang-orang yang menjadi korban diunggah melalui akun Instagram bernama @korbanpenipuantita.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, penipuan jastip ini bukan pertama kali terjadi. Kendati demikian, kata Bhima, masih ada beberapa alasan konsumen tergiur jastip.
"Permintaan jastip itu cukup tinggi di Indonesia. Karena orang-orang ini tergiur mencari jalan tikus," ujar Bhima kepada Kompas.com, Jumat (15/7/2022).
Bhima menjelaskan, ada beberapa hal yang membuat konsumen tergiur mencari barang jastip, salah satunya untuk menghindari hal administrasi yang berkaitan dengan bea dan cukai secara langsung.
Kemudian, konsumen tergiur dengan selisih harga yang lebih murah lantaran barang jastip itu biasanya tidak melalui kargo atau dititipkan lewat perjalanan luar negeri.
Dengan demikian, barang itu akan dianggap sebagai barang personal sehingga tidak wajib dilaporkan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan terkena bea masuk ataupun pajak pertambahan nilai (PPN).
Untuk penipuan jastip yang baru-baru ini menjadi perhatian publik, kata Bhima, terjadi karena calon pembeli ingin menekan biaya pengiriman yang lebih murah.
Biasanya, pelaku jastip menggunakan kargo dengan ketentuan minimum order quantity (MOQ) atau jumlah pembelian minimal barang yang penjual tetapkan.
Selisih harga itu yang kemudian menjadi pertimbangan bagi pelaku yang ingin menjual kembali barangnya atau reseller dengan harapan margin yang lebih menguntungkan ataupun mengejar persaingan harga dengan penjual lain.
"Kalau barang dikirim dengan jumlah yang sangat besar, maka beban biaya ongkos kirim akan jauh lebih murah dibandingkan impor satuan," ujar Bhima.
Sayangnya, transaksi jastip ini sangat berisiko karena hingga saat ini belum ada platform yang resmi dan diawasi pemerintah secara langsung yang menawarkan jasa titip.
Transaksi jastip ini dilakukan secara personal dengan tanpa jaminan apa pun. Di sisi lain, minimnya pengetahuan calon pembeli soal prosedur jastip akan menjadi sasaran empuk pelaku kejahatan.
"Padahal, prosedur ini tidak ada transparansi pengiriman barang," kata Bhima.
Karena tidak adanya transparansi transaksi ini, konsumen akan sangat dirugikan ketika ada sengketa. Berbeda dari platform resmi yang menyediakan layanan pengaduan konsumen hingga bantuan hukum.
Menurut Bhima, jastip ini paling banyak menyasar barang impor. Meskipun sudah banyak platform resmi impor, konsumen tetap akan menggunakan jastip karena tergiur selisih harga, menghindari hal urusan pajak, dan kerumitan administrasi.
"Sebetulnya tidak alasan untuk tidak menggunakan platform resmi kalau mau barang impor, seperti AliExpress atau eBay. Untuk itu, perlu edukasi juga kepada masyarakat," ujar Bhima.
Viralnya penipuan jastip ini bermula dari cerita orang-orang yang menjadi korban lewat akun Instagram bernama @korbanpenipuantita.
Salah satu pengusaha jastip, Wulan, turut menjadi korban dalam kasus penipuan modus jastip barang elektronik oleh perempuan berinisial T.
Sejak mengikuti kulak bareng (kulbar) dalam jastip barang elektronik pada April 2022, barang titipannya tidak pernah tiba sampai sekarang. Wulan pun mengaku rugi hingga ratusan juta rupiah.
https://megapolitan.kompas.com/read/2022/07/15/11330461/maraknya-fenomena-jastip-meski-berisiko-penipuan-pengamat-tergiur-jalan