JAKARTA, KOMPAS.com - "Maafkan papa, Arie, papa tidak sengaja..."isak Machtino Eddiwan di depan pusara Arie Hangara (7), yang tewas ditangannya yang merupakan ayah kandungnya sendiri.
Rangkaian kalimat tersebut adalah cuplikan berita pada harian Kompas edisi 10 November 1984 tentang babak akhir dari penyiksaan orangtua terhadap anak yang berujung pada tewasnya sang anak.
Hal tragis yang menimpa Arie Hanggara kala itu menjadi perhatian publik sehingga membuat seluruh warga Indonesia geram.
Arie Hanggara, terlahir sebagai anak kedua dari pasangan Machtino Eddiwan dan Dahlia Nasution. Saat rumah tangga kedua orangtuanya berantakan, Arie bersama dua orang saudaranya dibawa sang ayah untuk hidup bersama istri barunya, Santi.
Keluarga itu tinggal di sebuah rumah yang terletak di Jalan H Semaun di bilangan Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Tanggal 8 November 1984, atau 35 tahun lalu, menjadi hari terakhir dalam hidup Arie. Ia mengalami penyiksaan dari ayahnya, Machtino, karena dianggap telah mencuri uang di sekolah.
Hari tragis untuk Arie
Rabu sore hari, (7/11//2022), ketika Arie tiba di rumah dari sekolahnya di SD Yayasan Perguruan Cikini, Machtino menemukan uang sebesar Rp 8.000 di dalam tas Arie.
Baik Machtino maupun Santi merasa tidak pernah memberikan uang sebesar itu kepada Arie. Di samping itu, Perguruan Cikini membatasi siswa SD hanya dibolehkan membawa uang sebesar Rp 1.000.
Berdasarkan berita rekonstruksi dalam arsip Kompas, Machtino berniat menghukum anak kandungnya dengan pukulan dan tendangan ke arah wajah, tangan, kaki, dan pantat, agar Arie tidak melakukan kesalahan serupa.
Pasalnya sebelum kejadian hari itu, di pekan sebelumnya Machtino juga pernah mendapati Arie mencuri uang sebanyak Rp 1.500. Di waktu itu pun Machtino dan Santi menghukum Arie dengan pukulan dan tamparan.
Merasa Arie tidak kunjung jera, setelah disiksa sedari sore, pada Rabu malam, bocah kelas 1 SD ini masih mendapatkan siksaan dari orangtuanya.
Machtino mengikat kedua tangan dan kaki Arie dengan simpul mati menggunakan tali plastik. Arie kemudian diminta berjongkok di kamar mandi.
Ia disuruh menghadap tembok, lalu kemudian Machtino membenturkan kepala Arie ke tembok. Arie tidak diperbolah makan atau minum sepanjang malam itu selama Arie belum meminta maaf kepada orang tuanya.
Santi si ibu tiri, turut menambah hukuman untuk Arie dengan menjambak rambut Arie seraya menodongkan pisau pengupas mangga ke wajah Arie seraya memaksa Arie meminta maaf.
Detik itu, Machtino masuk ke ruang dapur dan bertanya, "kenapa lagi ma?"
Santi pun menjawab, "saya kesal kok Arie masih bandel dan tidak mau minta maaf."
Saat Santi pergi menuju kamar tidur, Machtino kembali masuk ke kamar mandi dan kembali menghukum Arie. Ia memaksa anaknya untuk tetap berdiri sepanjang sepanjang malam, lalu kemudian menyusul istrinya ke kamar untuk tidur.
Kamis dini hari, sekitar pukul 01.00 WIB, Machtino kembali ke kamar mandi untuk melihat kondisi anaknya. Ia kesal lantaran mendapati Arie berjongkok, tidak tetap berdiri seperti perintahnya.
Ia pun mulai memukul Arie dengan gagang sapu pada punggung, dada, pantat, paha depan-belakang, kaki, dan tumit. Usai disiksa, Machtino sempat memberikan Arie segelas air.
Arie yang saat itu sudah dalam kondisi sangat lemas akhirnya diselonjorkan oleh Machtino di dekat meja setrika, sebelum kemudian Machtino kembali ke kamarnya.
Dua jam kemudian, Machtino terkejut melihat kondisi Arie yang sudah kritis. Ia pun buru-buru membawa Arie ke rumah sakit. Menurut keterangan polisi, Arie tewas dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Diangkat ke layar lebar
Karena perhatian masyarakat kepada peristiwa ini begitu besar, kisah ini pun diangkat ke layar lebar.
Film berjudul “Arie Hanggara” yang rilis di awal tahun 1985 mampu menguras air mata ribuan penonton.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu, Nugroho Notosusanto, sempat hendak memasang patung Arie Hanggara di depan kantor kementeriannya.
Patung yang dibuat Edhi Sunarso—pematung yang juga membuat Patung Pancoran—itu rencananya ditujukan sebagai pengingat agar peristiwa serupa tidak terulang.
Namun patung itu akhirnya batal dipasang karena diprotes pihak keluarga, terutama ibu kandungnya, yang menganggapnya hanya akan mengabadikan luka.
“Gemetar saya melihat foto patung Arie di koran-koran. Saya tak mau anakku dipatungkan begitu menyedihkan. Tolonglah, jangan bikin saya menangis lagi,” ucap Dahlia, ibu kandung Arie, seperti dikutip Kompas edisi Jumat, 11 Januari 1985.
Sewaktu diperiksa, Machtino baru mengakui bahwa Arie tewas bukan karena akumulasi siksaan yang kerap dilakukan olehnya kepada hari.
Di hari meninggalnya, jenazah Arie disemayamkan di Pemakaman Jeruk Purut, Jakarta Selatan.
Sempat ada tulisan “Maafkan Papa” dan “Maafkan Mama.” di samping kanan-kiri nisan Arie. Tulisan itu dibuat sendiri oleh Machtino dan Santi setelah keduanya bebas.
https://megapolitan.kompas.com/read/2022/11/16/05100001/kejadian-menghebohkan-di-tahun-80an-ayah-dan-ibu-tiri-siksa-arie-hanggara