Salin Artikel

9 Klaster Kemacetan di Jakarta dan Cara Menghindarinya Pakai Data

Akankah kemacetan tetap harus menjadi rutinitas yang dijalani setiap berangkat kerja dan pulang kerja? Selain berangkat lebih awal dan pulang lebih lambat, adakah alternatif solusi lain?

Kemacetan tak cuma soal jalanan

Kemacetan berikut segala dampak ikutannya adalah keniscayaan di waktu-waktu tersebut. Waktu tempuh di jalan menjadi teramat panjang. Pembengkakan konsumsi bahan bakar terjadi. Produktivitas pun turun. Belum lagi, risiko gangguan psikologis dari kondisi rutin itu.

Riset yang dilakukan Syaukat dkk (2014) menunjukkan, kemacetan yang terjadi di DKI Jakarta, khusunya di Jalan Jenderal Sudirman, menimbulkan kerugian ekonomi Rp 19,72 triliun per tahun.

Di dalan penelitian berjudul Valuasi Ekonomi Dampak Kemacetan Lalu Lintas di DKI Jakarta yang diterbitkan Jurnal Manajemen Pembangunan Daerah itu, Syaukat dkk menemukan bahwa kerugian akibat kemacetan itu disumbangkan oleh inefisiensi bahan bakar minyak, penurunan produktivitas pekerja, peningkatan biaya kesehatan, dan kerugian akibat tekanan psikologis.

Khusus mengenai kerugian akibat tekanan psikologis, sekalipun menduduki penyebab paling buncit, bukan berarti efeknya bisa disepelekan. Laporan Kompas.com dengan judul Ngeri, Efek Psikologis Negatif Akibat Kemacetan yang dilansir pada 14 September 2015 menggambarkan hal tersebut.

Waktu tempuh berkendara yang mestinya hanya sekitar 20 menit, seturut jarak yang relatif dekat, terkadang mesti dijalani hingga sekitar dua jam. Akibatnya, tak jarang terjadi saling meneriaki dan memaki bahkan berkelahi di jalan.

Orang-orang terdekat yang berhubungan dengan mereka yang terdampak secara psikologis tersebut juga rentan turut menanggung akibatnya.

Karena itulah, strategi untuk mengurangi waktu tempuh dalam perjalanan sangat dibutuhkan. Praktiknya bisa dilakukan dengan berangkat lebih pagi atau sekalian lebih siang guna menghindari jam sibuk (rush hour). Sebaliknya, pulang ke rumah bisa dilakukan lebih awal pula atau lagi-lagi sekalian lebih telat dari jam pulang kantor yang ditetapkan.

Akan tetapi, tentu saja tidak semua lokasi tinggal di kawasan DKI Jakarta dan sekitarnya memiliki kondisi lalu lintas yang sama. Jam sibuk di ruas jalan tertentu pun berbeda-beda.

Diperlukan pengetahuan (knowledge) yang relatif mendalam mengenai informasi-informasi tersebut, agar diperoleh wawasan (insight) baru yang bisa diterapkan dalam pengambilan keputusan terkait jam berangkan dan pulang kerja.

Keputusan terbaik yang diambil pun bakal berdasarkan kearifan (wisdom) untuk menghindari pemborosan bahan bakar minyak, penurunan produktivitas pekerja, peningkatan biaya kesehatan, dan kerugian akibat tekanan psikologis.

Menghindari kemacetan pakai data

Untuk mengetahui hal tersebut, Kudu mengumpulkan data dan informasi guna diproses menjadi pengetahuan. Di dalam konteks ini, data diperoleh dengan mengambil waktu tempuh dari seluruh koordinat tengah (centroid) kelurahan di wilayah Jabodetabek ke kawasan Senayan.

Pemilihan kawasan Senayan sebagai tujuan karena lokasi ini merupakan titik nol peta jalan Jakarta sekaligus diasumsikan berdekatan dengan sejumlah lokasi kerja, Gedung DPR, serta relatif dekat dengan kawasan Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Gatot Subroto yang merupakan sentra bisnis Ibu Kota.

Selain itu, Senayan juga dipilih karena di lokasi itulah tempat didirikannya sejumlah bangunan bersejarah seperti Stadion Gelora Bung Karno dan Gedung TVRI yang terkait dengan penyelenggaraan Asian Games IV/1962. Pembangunan untuk hajatan ini tercatat pula dalam sejarah sebagai peristiwa penggusuran pertama di Indonesia.

Adapun penghitungan waktu tempuh dari seluruh centroid kelurahan di wilayah Jabodetabek ke kawasan Senayan dilakukan setiap 30 menit. Proses ini dilakukan pada pukul 07.00–10.00 WIB yang didefinisikan sebagai rush hour waktu berangkat kerja.

Proses serupa dilakukan juga pada pukul 16.00–19.30 WIB yang dirumuskan sebagai jam sibuk waktu pulang kerja. Pengambilan data dilakukan dengan HERE Maps API, pada periode 8-11 November 2022.

Kedua waktu tempuh ini kemudian dinormalisasi dan dikelompokkan menggunakan metode clustering K-Means, untuk mengetahui keberadaan klaster yang menarik. 

Witten, et al., (2012) dalam Dhuhita (2015) menyebutkan bahwa metode K-Means merupakan algoritma clustering berbasis jarak yang membagi data ke dalam sejumlah klaster. Algoritma tersebut bekerja hanya dengan atribut numerik.

Algoritma ini dipilih seturut kesesuaiannya dengan tujuan penyigian data oleh Kudu guna mengetahui jarak dan waktu tempuh di masing-masing klaster.

Berdasarkan penghitungan dengan metode K-Means, diketahui bahwa untuk pagi hari terdapat lima klaster yang muncul dominan. Kelima klaster ini adalah klaster merah, klaster kuning, klaster hijau, klaster biru, dan klaster ungu.

Makin siang tambah macet

Dari pemetaan lima klaster dominan kemacetan pada pagi hari, muncul temuan kondisi makin siang justru jalanan makin macet. Kondisi tersebut bisa kita temukan di kawasan yang dikategorisasikan ke dalam klaster merah.

Di kawasan ini, jika seseorang berangkat di atas pukul 07.00 WIB maka ada kecenderungan ia bakal semakin menemukan kemacetan dengan intensitas yang meninggi. Keadaan ini, berdasarkan peta di bawah, sekurangnya terjadi di kawasan Pondok Indah di Jakarta Selatan, Tanjung Priok di Jakarta Utara, dan Kebon Sirih di Jakarta Pusat. 

Adapun klaster kuning terdiri atas sejumlah lokasi manakala warganya berangkat pada pukul 07.45 WIB maka mereka akan langsung berhadapan dengan puncak kemacetan. Selanjutnya, hingga sekitar pukul 09.00 WIB, grafik kemacetan fluktuatif.

Namun jika mereka berangkat pada pukul 09.30 WIB, kepadatan peta cenderung bertambah yang mengindikasikan kenaikan intensitas kemacetan lalu lintas. Kondisi ini sekurangnya terjadi terjadi di kawasan Depok sebelah barat dan Serpong di Tangerang Selatan. 

Siang hari kemungkinan lengang

Lantas, ada klaster hijau, dengan kondisi paling macet yang mesti dihadapi warganya ketika yang bersangkutan berangkat pada pukul 07.45 WIB. Setelah itu, waktu tempuh cenderung semakin cepat.

Akan tetapi, pada pukul 09.30, waktu tempuh dimaksud cenderung kembali bertambah, walau tidak sampai ke titik termacet sebagaimana terjadi di pukul 07.45 WIB. Klaster ini terpantau memiliki anggota paling sedikit, sekurangnya ada di kawasan Pamulang di Tangerang Selatan dan Karawaci di Tangerang. 

Berikutnya terdapat klaster biru muda. Di kawasan ini, warga yang berangkat kerja setelah pukul 08.00 WIB akan mengalami waktu tempuh yang cenderung semakin singkat. Walhasil, kemacetan pun bisa dihindari jika perilaku waktu berkendara ini yang dipilih.

Puncak kemacetan klaster biru muda hanya ada pada pukul 07.45 WIB. Klaster biru muda setidaknya berada di kawasan Pondok Gede di Jakarta Timur dan Bekasi. 

Terakhir, ada klaster ungu. Karaktersistik klaster ini cenderung mirip dengan klaster biru muda. Artinya, jika berangkat sebelum atau setelah pukul 08.00 WIB akan lebih cepat sampai. Puncak kemacetan berada di pukul 08.15 WIB. Setelah itu, waktu tempuh cenderung terus susut.

Meski demikian, terdapat tren kenaikan waktu tempuh setelah pukul 09.30 menuju 09.45 WIB. Klaster ungu sekurangnya berada di kawasan Jelambar di Jakarta Barat dan kawasan Kampung Rambutan, Jakarta Timur. 

Sementara itu, untuk waktu pulang kerja terdapat empat klaster yang bisa diamati. Masing-masing adalah klaster merah, klaster kuning, klaster biru, dan klaster hijau, sebagaimana divisualisasikan dalam peta di bawah ini.

Klaster merah terpantau memiliki anggota paling sedikit. Orang-orang yang tinggal di klaster ini terlihat pulang berbarengan pada jam 16.30 WIB sehingga menimbulkan lonjakan kemacetan.

Intensitas kemacetan terpantau turun pada jam pukul 17.00 WIB. Akan tetapi, di jam 17.30 WIB, kemacetan kembali melonjak, sebelum akhirnya turun pada pukul 18.30 WIB. Klaster ini sekurangnya terdiri atas Bintaro di Tangerang Selatan dan Pondok Indah di Jakarta Selatan.

Sementara mereka yang tinggal di klaster kuning, nampak pulang kerja secara serempak pada pukul 17.00 WIB. Hal ini memicu naiknya grafik kemacetan relatif secara tajam setelah waktu tersebut.

Kemacetan baru terpantau mulai menurun setelah pukul 19.00 WIB. Klaster ini sekurangnya terdiri atas kawasan Cipondoh di Tangerang dan Cibubur di Jakarta Timur. 

Adapun klaster biru muda dan hijau memiliki karakteristik yang mirip. Penduduknya cenderung pulang kerja secara berangsur-angsur Hal ini relatif tampak dari grafik yang relatif tidak mengalami lonjakan.

Akan tetapi, puncak kemacetan untuk keduanya terlihat muncul di jam 18.00 WIB. Khusus untuk klaster biru muda, kemacetan relatif mereda setelah pukul 18.00 WIB. Adapun untuk klaster hijau, tingkat kemacetan setelah jam 18.00 WIB cenderung sama.

Kawasan yang termasuk ke dalam klaster biru muda sekurangnya kawasan Cilandak di Jakarta Selatan dan Cikunir di Kota Bekasi. Sementara klaster hijau, setidaknya terdiri atas kawasan Cilangkap di Jakarta Timur dan Cilincing di Jakarta Utara. 

Berdasarkan pengetahuan di atas, kita dapat mengambil wawasan tersendiri untuk masing-masing kawasan. Secara umum, wawasan itu berhubungan dengan diperlukannya kecermatan dalam menentukan waktu keberangkatan dan pulang kerja. 

Tidak bijak rasanya memilih waktu pergi dan pulang yang sama dengan kebanyakan orang. Alih-alih bersicepat hendak menghindari kemacetan, justru malah terjebak dalam antrean panjang kendaraan di jalan.

Selain menyesuaikan waktu berangkat dan pulang kerja dengan bijak, hal lain yang juga layak dipertimbangkan adalah menggunakan kendaraan umum. Untuk melihat perbedaan dan persamaan analisis ini dengan analisis serupa pada 2017, artikelnya dapat dibaca pada link ini. 

https://megapolitan.kompas.com/read/2022/12/30/09173781/9-klaster-kemacetan-di-jakarta-dan-cara-menghindarinya-pakai-data

Terkini Lainnya

Rute Bus Tingkat Wisata Transjakarta BW2

Rute Bus Tingkat Wisata Transjakarta BW2

Megapolitan
Cara ke Mall Kelapa Gading Naik Kereta dan Transjakarta

Cara ke Mall Kelapa Gading Naik Kereta dan Transjakarta

Megapolitan
Ayah di Jaktim Setubuhi Anak Kandung sejak 2019, Korban Masih di Bawah Umur

Ayah di Jaktim Setubuhi Anak Kandung sejak 2019, Korban Masih di Bawah Umur

Megapolitan
Sempat Tersendat akibat Tumpahan Oli, Lalu Lintas Jalan Raya Bogor Kembali Lancar

Sempat Tersendat akibat Tumpahan Oli, Lalu Lintas Jalan Raya Bogor Kembali Lancar

Megapolitan
Ibu di Jaktim Rekam Putrinya Saat Disetubuhi Pacar, lalu Suruh Aborsi Ketika Hamil

Ibu di Jaktim Rekam Putrinya Saat Disetubuhi Pacar, lalu Suruh Aborsi Ketika Hamil

Megapolitan
Komnas PA Bakal Beri Pendampingan Siswa SMP di Jaksel yang Lompat dari Lantai 3 Gedung Sekolah

Komnas PA Bakal Beri Pendampingan Siswa SMP di Jaksel yang Lompat dari Lantai 3 Gedung Sekolah

Megapolitan
Penanganan Kasus Pemerkosaan Remaja di Tangsel Lambat, Pelaku Dikhawatirkan Ulangi Perbuatan

Penanganan Kasus Pemerkosaan Remaja di Tangsel Lambat, Pelaku Dikhawatirkan Ulangi Perbuatan

Megapolitan
Pendaftaran PPDB Jakarta Dibuka 10 Juni, Ini Jumlah Daya Tampung Siswa Baru SD hingga SMA

Pendaftaran PPDB Jakarta Dibuka 10 Juni, Ini Jumlah Daya Tampung Siswa Baru SD hingga SMA

Megapolitan
Kasus Perundungan Siswi SMP di Bogor, Polisi Upayakan Diversi

Kasus Perundungan Siswi SMP di Bogor, Polisi Upayakan Diversi

Megapolitan
Disdik DKI Akui Kuota Sekolah Negeri di Jakarta Masih Terbatas, Janji Bangun Sekolah Baru

Disdik DKI Akui Kuota Sekolah Negeri di Jakarta Masih Terbatas, Janji Bangun Sekolah Baru

Megapolitan
Polisi Gadungan yang Palak Warga di Jaktim dan Jaksel Positif Sabu

Polisi Gadungan yang Palak Warga di Jaktim dan Jaksel Positif Sabu

Megapolitan
Kondisi Siswa SMP di Jaksel yang Lompat dari Lantai 3 Gedung Sekolah Sudah Bisa Berkomunikasi

Kondisi Siswa SMP di Jaksel yang Lompat dari Lantai 3 Gedung Sekolah Sudah Bisa Berkomunikasi

Megapolitan
Polisi Gadungan di Jaktim Palak Pedagang dan Warga Selama 4 Tahun, Raup Rp 3 Juta per Bulan

Polisi Gadungan di Jaktim Palak Pedagang dan Warga Selama 4 Tahun, Raup Rp 3 Juta per Bulan

Megapolitan
Pelajar dari Keluarga Tak Mampu Bisa Masuk Sekolah Swasta Gratis Lewat PPDB Bersama

Pelajar dari Keluarga Tak Mampu Bisa Masuk Sekolah Swasta Gratis Lewat PPDB Bersama

Megapolitan
Dua Wilayah di Kota Bogor Jadi 'Pilot Project' Kawasan Tanpa Kabel Udara

Dua Wilayah di Kota Bogor Jadi "Pilot Project" Kawasan Tanpa Kabel Udara

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke