Salin Artikel

Adakah yang Diuntungkan dari Kebijakan Jalan Berbayar di Jakarta?

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemprov DKI Jakarta tengah mencari cara mengurai kemacetan Ibu Kota, salah satunya dengan penerapan jalan berbayar elektronik atau ERP.

Cara ini mengatur penggunaan jalan pada kawasan tertentu agar tidak melampaui kapasitasnya.

Pasalnya, usai pandemi Covid-19 mereda, lonjakan volume kendaraan di jalanan Ibu Kota meningkat tajam.

TomTom Traffic Index mencatat, sampai dengan 2019, Jakarta ada di posisi 10 besar dunia kota termacet dari 216 kota dengan tingkat kemacetan 59 persen.

Pada 2020, di tahun pertama pandemi Covid-19, posisi Jakarta turun di 31 dunia dengan tingkat kemacetan 36 persen.

Pada 2021, posisi Jakarta turun lagi, di posisi 46 dunia dengan tingkat kemacetan 34 persen. Lalu pada Januari 2023, tingkat kemacetan harian mencapai 60 persen hingga 90 persen.

Adanya pandemi Covid-19, membuat tiga tahun ke belakang kemacetan dapat terkendali. Bahkan polusi udara juga rendah.

Namun, pada 2023, ketika pemerintah sudah melonggarkan pembatasan, aktivitas masyarakat kembali tinggi, tingkat kemacetan kembali lagi seperti sebelum pandemi-19.

Apabila sebelum 2019 Pemprov DKI berupaya mencari strategi mengatasi kemacetan dan kemudian menerapkan pembatasan kendaraan dengan ganjil genap, demikian juga pada 2023 ini.

Wacana kebijakan jalan berbayar

Sampai saat ini, ganjil genap masih berlaku. Namun, Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Perhubungan DKI Jakarta berupaya menerapkan kebijakan pembatasan kendaraan lebih lanjut.

Apa yang dimaksud dengan kebijakan pembatasan kendaraan lebih lanjut adalah dengan penerapan kebijakan jalan berbayar elektronik (JBE) atau electronic road pricing (ERP).

Saat ini posisi kebijakan tersebut masih dalam pembahasan di Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta untuk mendapatkan payung hukum penerapan.

Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo, Senin (16/1/2023), menjelaskan urgensi penerapan ERP.

ERP merupakan metode pengendalian lalu lintas yang bertujuan untuk mengurangi permintaan penggunaan jalan sampai kepada suatu titik penggunaan jalan tidak lagi melampaui kapasitas jalan.

ERP menjadi pertimbangan setelah hasil evaluasi menunjukkan penerapan pembatasan kendaraan setelah kebijakan ganjil genap justru mendorong pertumbuhan kendaraan.

Pada 2018, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Sigit Wijatmoko menyatakan, ganjil genap justru mendorong pertumbuhan pembelian mobil bekas meningkat hingga 20 persen.

Sejalan dengan Pemprov DKI, pengamat transportasi Djoko Setijowarno juga menyatakan, ganjil genap yang diterapkan sejak 2016 tidak bisa selamanya diterapkan.

Hal itu karena ganjil genap justru mendorong masyarakat untuk memiliki kendaraan lebih dari satu.

Dampak yang terasa sampai saat ini adalah kemacetan Jakarta yang makin parah yang tertangkap TomTom Traffic Index ataupun oleh masyarakat sendiri.

"Ketambahan pandemi, masyarakat masih waswas untuk naik angkutan umum sehingga demi kesehatan mereka yang memiliki alternatif angkutan memilih naik kendaraan pribadi," kata Djoko.

Siapa yang diuntungkan?

Dengan ERP, pengguna jalan akan dikenai biaya tertentu jika melewati satu area atau koridor yang macet pada waktu tertentu.

"Yang perlu dipahami, pungutan ERP bukan pajak, melainkan retribusi," ujar Djoko.

Retribusi adalah pungutan yang dikenakan kepada masyarakat yang menggunakan fasilitas yang disediakan oleh negara.

Berbeda dengan pajak, maka pembayar retribusi mendapatkan kontra prestasi langsung dari apa yang dibayarnya.

Misalnya, membayar retribusi parkir, maka orang tersebut berhak memarkir kendaraannya pada ruang parkir yang tersedia.

Dengan membayar retribusi ERP, pengguna jalan dapat menikmati jalanan yang lebih lancar.

Atau setidaknya, dengan membayar retribusi ERP, pengguna jalan dapat izin menggunakan jalan karena bagi yang tidak membayar ERP tidak boleh melintas di jalan tersebut.

”Kalau menurut teori ekonomi yang menjadi dasarnya, ERP masuk kategori charging/denda karena menyebabkan negative externalities pada jalan-jalan ketika kondisi macet," kata Djoko.

"Sementara dasar hukum pungutan kepada masyarakat yang tersedia adalah pajak dan retribusi. Untuk pungutan ERP yang paling mendekati cocok adalah retribusi,” lanjutnya.

Peningkatan layanan angkutan umum

Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Wilayah DKI Jakarta Yusa C Permana menegaskan, ERP sebaiknya diterapkan melingkupi sebuah kawasan yang dilayani angkutan umum massal.

Layanan angkutan umum pada kawasan yang terdampak ERP wajib mampu memenuhi kebutuhan baik secara kuantitas dan kualitas layanan sesuai dengan kebutuhan kawasan yang dilayani.

Artinya, di kawasan yang akan diterapkan ERP, angkutan umum mesti mampu melayani dengan baik kebutuhan mobilitas masyarakat.

"Pemerintah mesti membenahi dan mengembangkan transportasi umum di kawasan atau koridor ERP atau kawasan yang terdampak secara langsung," kata Yusa.

Pasalnya, ERP sendiri bertujuan di antaranya mendorong penggunaan angkutan umum, sekaligus mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi.

Selain itu, penerapan ERP juga memberikan opsi sumber pendanaan pembiayaan angkutan umum, serta mendorong keberlanjutan pengelolaan transportasi perkotaan.

Tulisan selengkapnya telah terbit pada laman Kompas.id dengan judul: "Menelisik Kebijakan Jalanan Berbayar di Jakarta"

https://megapolitan.kompas.com/read/2023/01/28/10300001/adakah-yang-diuntungkan-dari-kebijakan-jalan-berbayar-di-jakarta

Terkini Lainnya

Kebakaran Agen Gas dan Air di Cinere Depok, Empat Ruangan Hangus

Kebakaran Agen Gas dan Air di Cinere Depok, Empat Ruangan Hangus

Megapolitan
Polisi Tangkap Empat Pebisnis Judi 'Online' di Depok yang Jual Koin Slot lewat 'Live Streaming'

Polisi Tangkap Empat Pebisnis Judi "Online" di Depok yang Jual Koin Slot lewat "Live Streaming"

Megapolitan
Punya Penjaringan Sendiri, PDI-P Belum Jawab Ajakan PAN Usung Dedie Rachim di Pilkada Bogor

Punya Penjaringan Sendiri, PDI-P Belum Jawab Ajakan PAN Usung Dedie Rachim di Pilkada Bogor

Megapolitan
Begini Tampang Dua Pria yang Cekoki Remaja 16 Tahun Pakai Narkoba hingga Tewas

Begini Tampang Dua Pria yang Cekoki Remaja 16 Tahun Pakai Narkoba hingga Tewas

Megapolitan
Kelurahan di DKJ Dapat Kucuran Anggaran 5 Persen dari APBD, Sosialisasi Mulai Mei 2024

Kelurahan di DKJ Dapat Kucuran Anggaran 5 Persen dari APBD, Sosialisasi Mulai Mei 2024

Megapolitan
Diprotes Warga karena Penonaktifan NIK, Petugas: Banyak Program Pemprov DKI Tak Berjalan Mulus karena Tak Tertib

Diprotes Warga karena Penonaktifan NIK, Petugas: Banyak Program Pemprov DKI Tak Berjalan Mulus karena Tak Tertib

Megapolitan
Dua Rumah Kebakaran di Kalideres, Satu Orang Tewas

Dua Rumah Kebakaran di Kalideres, Satu Orang Tewas

Megapolitan
Curhat Pedagang Bawang Merah Kehilangan Pembeli Gara-gara Harga Naik Dua Kali Lipat

Curhat Pedagang Bawang Merah Kehilangan Pembeli Gara-gara Harga Naik Dua Kali Lipat

Megapolitan
PAN Ajak PDI-P Ikut Usung Dedie Rachim Jadi Calon Wali Kota Bogor

PAN Ajak PDI-P Ikut Usung Dedie Rachim Jadi Calon Wali Kota Bogor

Megapolitan
Kelakar Chandrika Chika Saat Dibawa ke BNN Lido: Mau ke Mal, Ada Cinta di Sana...

Kelakar Chandrika Chika Saat Dibawa ke BNN Lido: Mau ke Mal, Ada Cinta di Sana...

Megapolitan
Pemilik Toko Gas di Depok Tewas dalam Kebakaran, Saksi: Langsung Meledak, Enggak Tertolong Lagi

Pemilik Toko Gas di Depok Tewas dalam Kebakaran, Saksi: Langsung Meledak, Enggak Tertolong Lagi

Megapolitan
Sowan ke Markas PDI-P Kota Bogor, PAN Ajak Berkoalisi di Pilkada 2024

Sowan ke Markas PDI-P Kota Bogor, PAN Ajak Berkoalisi di Pilkada 2024

Megapolitan
Penjelasan Pemprov DKI Soal Anggaran Restorasi Rumah Dinas Gubernur DKI yang Capai Rp 22 Miliar

Penjelasan Pemprov DKI Soal Anggaran Restorasi Rumah Dinas Gubernur DKI yang Capai Rp 22 Miliar

Megapolitan
Kebakaran Tempat Agen Gas dan Air di Depok, Satu Orang Meninggal Dunia

Kebakaran Tempat Agen Gas dan Air di Depok, Satu Orang Meninggal Dunia

Megapolitan
Banyak Warga Berbohong: Mengaku Masih Tinggal di Jakarta, padahal Sudah Pindah

Banyak Warga Berbohong: Mengaku Masih Tinggal di Jakarta, padahal Sudah Pindah

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke