Menurut Bambang, kasus peredaran narkoba yang menjerat Irjen Teddy Minahasa bisa menjadi contoh perlunya pembaruan aturan penyimpanan barang bukti narkoba.
"Iya benar (perlu ada revisi aturan) itu terkait dengan tata kelola pemberantasan narkoba," ujar Bambang saat dihubungi Kompas.com, Kamis (11/5/2023).
Bambang menyebutkan, selama ini ada dua lembaga yang mengatur tata kelola narkoba, yakni Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Direktorat Narkoba Bareskrim Polri, yang bertugas melakukan penegakan hukum.
"Tapi fakta-fakta yang terjadi saat ini kan BNN diisi oleh kepolisian. Pimpinan BNN diisi oleh kepolisian aktif, sehingga BNN seolah menjadi sub-ordinasi dari Polri," jelas Bambang.
Dia menyarankan agar barang bukti narkoba tidak dipegang penyidik polisi, melainkan diserahkan ke BNN. Sebab, selama ini barang bukti narkoba kerap disimpan di Satuan Tahanan dan Barang Bukti (Tahti) kepolisian.
"BNN sendiri itu kan harus ada tempat penyimpanan barang bukti yang bisa dipertanggungjawabkan yang aman, yang tidak disimpan oleh Polri oleh penyidik Polri sendiri, yang akhirnya bisa dimainkan seperti yang terjadi saat ini," ujar Bambang.
Idealnya, lanjut dia, barang bukti narkoba diserahkan kepada lembaga lain yang memiliki fungsi pengawasan, termasuk BNN. Jadi apabila nanti terjadi penyalahgunaan, maka polisi dapat memperkarakan pihak lembaga yang melakukannya.
"Kalau ingin serius melakukan pembenahan terkait pemberantasan narkoba ini tidak hanya sekadar mengevaluasi kepolisian, tapi juga terkait dengan tata kelola pemberantasan itu," ucap Bambang.
"BNN sebagai lembaga negara yang pemberantasan narkoba harus ditata ulang," sambung dia.
Lemahnya kontrol kepolisian
Bambang menyampaikan, keterlibatan Teddy Minahasa dalam kasus narkoba dikarenakan lemahnya kontrol dan pengawasan Polri. Pasalnya, kasus serupa bukan hanya terjadi kali ini saja.
"Beberapa waktu yang lalu setelah kasusnya Teddy Minahasa, di Sidoarjo juga terjadi hal yang serupa, di Polda Jawa timur juga terjadi hal serupa," ujar Bambang.
"Artinya memang kontrol dan pengawasan di pihak kepolisian terkait dengan keterlibatan personel dalam kejahatan narkoba masih sangat lemah. Makanya itu yang perlu ditingkatkan ke depan," katanya lagi.
Dia berpandangan, yang lebih dari penting dari kontrol dan pengawasan ialah peraturan dalam institusi Polri itu sendiri. Aturan yang dimaksud yakni Peraturan Polri Nomor 2 tahun 2022 tentang Pengawasan Melekat di Lingkungan Polri.
Dalam Peraturan Kapolri Nomor 2 tahun 2022, jelas Bambang, pimpinan dari yang melakukan pelanggaran juga harus dimintai pertanggungjawaban.
"Fakta-fakta yang terjadi saat ini kan sanksi atau pertanggungjawaban atasan dari pelanggar tidak pernah tuntas, tidak pernah diselesaikan," papar dia.
Oleh sebab itu, lanjutnya, kasus narkoba yang melibatkan oknum di kepolisian akan terus berulang.
"Karena memang kontrol dan pengawasan itu tidak berjalan dengan baik," imbuh Bambang.
Bambang menilai, kontrol dan pengawasan di institusi Polri sejatinya harus dilakukan berjenjang oleh para atasan. Setiap atasan, misalnya di tingkat Polres, apabila Kepala Satuan Reserse Narkoba terbuki bersalah maka Kapolres harus ikut bertanggungjawab.
"Kalau Kapolda yang bersalah seperti Teddy Minahasa atasannya siapa, begitu. Artinya di Propam sama Irwasum kan tidak berjalan dengan benar sehingga menurunkan sosok sosok seperti Teddy Minahasa," tutur Bambang.
Secara terstruktur dilakukan pengawasan oleh divisi terkait termasuk Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) dan Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum) Polri.
"Kalau ingin berbenah ke depan tidak bisa diserahkan pada institusi Polri saja tetapi perlu political will dari pemerintah untuk membangun sistem kontrol dan pengawasan yang lebih ketat dengan melibatkan pihak-pihak eksternal," jelas Bambang.
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 disebutkan, Komisi Kepolisian Nasional atau Kompolnas dibentuk untuk mengawasi Polri secara eksternal. Namun, Bambamg menilai keberadaan Kompolnas masih sangat lemah. Sehingga perannya perlu diperkuat.
Diberitakan sebelumnya, Teddy Minahasa divonis bersalah dalam kasus peredaran narkoba oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Dalam sidang yang berlangsung pada Selasa (9/5/2023), majelis hakim menjatuhkan hukum penjara seumur hidup terhadap Teddy
Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yakni hukuman mati.
Jaksa dalam dakwaannya menyatakan, Teddy terbukti bekerja sama dengan AKBP Dody Prawiranegara, Syamsul Ma'arif, dan Linda Pujiastuti (Anita) untuk menawarkan, membeli, menjual, dan menjadi perantara penyebaran narkotika.
Narkotika yang dijual itu merupakan hasil penyelundupan barang sitaan seberat lebih dari 5 kilogram.
Dalam persidangan terungkap bahwa Teddy meminta AKBP Dody mengambil sabu itu lalu menggantinya dengan tawas.
Awalnya, Dody sempat menolak. Namun, pada akhirnya Dody menyanggupi permintaan Teddy.
Dody kemudian memberikan sabu tersebut kepada Linda. Setelah itu, Linda menyerahkan sabu tersebut kepada Kasranto untuk kemudian dijual kepada bandar narkoba.
Total, ada 11 orang yang diduga terlibat dalam peredaran narkoba ini, termasuk Teddy Minahasa.
Sementara itu, 10 orang lainnya adalah Hendra, Aril Firmansyah, Aipda Achmad Darmawan, Mai Siska, Kompol Kasranto, Aiptu Janto Situmorang, Linda Pujiastuti, Syamsul Ma'arif, Muhamad Nasir, dan AKBP Dody Prawiranegara.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/05/11/14182101/belajar-dari-kasus-teddy-minahasa-pengamat-sebut-aturan-penyimpanan