JAKARTA, KOMPAS.com - Proyek Jalan Layang Non Tol (JLNT) di Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara, belakangan menjadi sorotan.
Pasalnya, proyek yang diinisiasi era Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sejak 2015 tersebut masih mangkrak hingga saat ini.
Saat TribunJakarta.com mengunjungi area proyek tersebut, Selasa (30/5/2023), JLNT di Pluit justru dijadikan tempat pembakaran sampah oleh orang tak dikenal.
Selain itu, banyak sampah dan tumbuhan liar berserakan di sana. Tumbuh-tumbuhan liar menjalar pada pembatas jalan layang.
Terjadi pada proyek monorel
Kondisi proyek transportasi yang mangkrak ini sebelumnya juga terjadi pada proyek monorel Jakarta.
Warga yang melintas di sepanjang Jalan Gelora hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, masih dapat melihat tiang-tiang pancang monorel yang mulai dibangun di masa Gubernur DKI Sutiyoso pada 2004 lalu.
Berdasarkan catatan Kompas.com, Pemprov DKI Jakarta saat itu berencana membangun monorel dengan kapasitas 10 rangkaian gerbong untuk mengatasi kemacetan Jakarta.
Terdapat dua jalur monorel yang rencananya akan dibangun.
Jalur pertama melingkar sepanjang 14,3 kilometer (km) dimulai dari Casablanca, Hotel Gran Melia, Satria Mandala, Kusuma Chandra, Polda Metro Jaya, Bursa Efek Indonesia, Gelora Bung Karno Senayan, Plaza Senayan, JHCC, gedung MPR/DPR, Taman Ria Senayan, gedung MPR/DPR, Pejompongan, Karet, Sudirman, Setiabudi Utara, Kuningan, Taman Rasuna, kembali ke Casablanca.
Sementara jalur kedua melintang sejauh 12,7 km dimulai dari Kampung Melayu, melewati kawasan Tebet, Menteng Dalam, Stasiun Casablanca, Ambasador, Stasiun Dharmala Sakti, Menara Batavia, Karet, kawasan Slipi, Cideng, dan berakhir di kawasan Roxy.
Keseriusan Pemprov DKI terhadap pembangunan proyek monorel saat itu ditandai dengan peresmian pemasangan tiang pancang pertama di Jalan Asia-Afrika, Senayan, Jakarta Pusat oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 14 Juni 2004.
Masalah pendanaan
Kendati demikian, hingga pergantian masa jabatan Gubernur DKI dari Sutiyoso ke Fauzi Bowo, proyek monorel tersebut terhenti karena masalah pendanaan.
Pemprov DKI dibawah tampuk kepemimpinan Fauzi Bowo atau Foke justru dituntut oleh pelaksana proyek monorel, PT Jakarta Monorel, sebesar Rp 600 miliar lantaran tidak adanya investor sehingga proyek pun mangkrak.
Kompas.com mencatat, Foke mengatakan untuk membangun kembali monorel memerlukan tambahan investasi yang besar. Foke pun akhirnya memutuskan untuk menghentikan proyek monorel.
"Dengan adanya penghentian perjanjian ini memang ada permintaan pergantian dana investasi yang diminta perusahaan itu sebesar Rp 600 miliar dan tidak bisa kita penuhi," ujar Foke, pada 9 Maret 2013.
Rusak estetika kota
Catatan Kompas.com, pada era Ahok, Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi DKI Jakarta yang kala itu dijabat Saefullah mengatakan, setelah mengirim surat pemutusan kerja sama dengan PT Jakarta Monorail (JM), pihaknya meminta agar tiang monorel yang mangkrak segera dibongkar.
Alasannya, keberadaan tiang-tiang itu mengganggu keindahan dan estetika kota. Terlebih lagi, tiang-tiang itu dibangun tanpa menggunakan dana dari APBD ataupun APBN.
Dengan demikian, pembongkaran tidak akan merugikan negara. "Karena ini bukan uang APBD atau APBN, ini kan PT JM bekerja sama dengan PT Adhi Karya.
DKI minta juga untuk bongkar," ujar Saefullah di Balai Kota DKI Jakarta pada 26 Januari 2015.
Kala itu, Ortus Holding selaku pemegang saham mayoritas PT JM dan PT Adhi Karya masih terlibat dalam sengketa harga ganti rugi tiang pancang tersebut.
PT Adhi Karya meminta Ortus melunasi pembayaran tiang senilai Rp 193 miliar. Sementara itu, Ortus hanya bersedia membayar ganti rugi tiang sebesar Rp 130 miliar.
Polemik pembongkaran
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) kemudian dilibatkan untuk melakukan taksiran harga terhadap tiang-tiang bekas proyek monorel itu.
BPKP menilai harga ke-90 tiang pancang di Jalan Asia Afrika dan Jalan HR Rasuna Said yang harus dibayarkan PT JM sebesar 14,8 juta dollar AS.
Merasa tidak puas dengan taksiran harga BPKP, akhirnya PT Adhi Karya dengan Ortus Holdings sepakat menyewa penaksir independen, yakni KJPP Ami Nirwan Alfiantori (ANA).
Dari hasil taksiran KJPP ANA, muncul harga sebesar Rp 193 miliar. Karena masih belum puas, kedua belah pihak bertemu pada Januari 2013 dan menyepakati harga fondasi dan tiang pancang seharga Rp 190 miliar.
Direktur Utama PT Jakarta Monorail Sukmawati Syukur mengatakan, tiang-tiang monorel tersebut sudah disita oleh PT Adhi Karya.
Dengan demikian, yang berkewajiban untuk melakukan pembongkaran adalah PT Adhi Karya. "Tiang-tiang itu sudah disita oleh Adhi Karya, bukan milik kita," kata Sukmawati.
(Penulis: Rindi Nuris Velarosdela, Kurnia Sari Aziza | Editor: Hertanto Soebijoto, Desy Afrianti, Ambaranie Nadia Kemala Movanita)
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/06/05/19490591/proyek-monorel-yang-juga-mangkrak-belasan-tahun-di-jakarta-dan-rusak