Hal itu disebutkan dalam Surat Edaran (SE) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Protokol Kesehatan pada Masa Transisi Endemi Covid-19 yang diterbitkan pada Jumat (9/6/2023).
Aturan tersebut menjelaskan mengenai protokol kesehatan (prokes) pada masa transisi endemi bagi pelaku perjalanan dalam dan luar negeri, kegiatan berskala besar, dan kegiatan pada fasilitas publik.
Meski pemerintah tak lagi mewajibkan pemakaian masker di tempat umum, ancaman kesehatan tetap mengintai, terutama bagi masyarakat Ibu Kota.
Pasalnya, kualitas udara di DKI Jakarta terus memburuk dalam beberapa waktu terakhir. Bahkan kualitas udara di Jakarta beberapa kali sempat menjadi yang terburuk di dunia.
Pemprov DKI akui kualitas udara Jakarta memburuk
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengakui kualitas udara di Ibu Kota mengalami pemburukan dalam beberapa waktu terakhir.
Sub Koordinator Kelompok Pemantauan Lingkungan Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Rahmawati menyatakan, kondisi ini terjadi karena wilayah Indonesia, khususnya DKI, memasuki musim kemarau.
"Secara periodik kualitas udara di Jakarta akan mengalami peningkatan konsentrasi polutan udara ketika memasuki musim kemarau, yaitu bulan Mei hingga Agustus," ujar Rahmawati dalam keterangannya, Kamis (8/6/2023).
Rahmawati memaparkan, peningkatan konsentrasi polutan di Jakarta sudah terlihat sejak April 2023. Kala itu, rata-rata bulanan konsentrasi PM 2,5 sebesar 29,75 mikrogram per kubik.
Angka ini kemudian naik hampir dua kali lipat menjadi 50,21 mikrogram per kubik pada Mei 2023. Namun, konsentrasi polutan akan berangsur-angsur menurun setelah melewati musim kemarau.
"Akan menurunkan saat memasuki musim penghujan bulan September - Desember. Hal tersebut terlihat dari tren konsentrasi PM 2,5 tahun 2019 sampai 2023," kata Rahmawati.
Berdasarkan data dari IQAir, indeks kualitas udara di Jakarta selalu berada di angka 150 ke atas sejak Jumat (19/5/2023). Angka itu jauh dari indeks kualitas udara baik yang harus berada di kisaran angka 0-50.
Jakarta bahkan menjadi wilayah dengan kualitas udara terburuk di dunia versi IQAir pada Selasa (6/6/2023) lalu.
Melansir data dari situs tersebut, indeks kualitas udara di Jakarta berada di angka 157 dengan polutan utamanya yakni PM 2,5 dan nilai konsentrasi 67 mikrogram per meter kubik.
Buruknya kualitas udara Jakarta pada saat ini tentunya dikeluhkan oleh masyarakat. Kondisi ini dikhawatirkan berdampak pada kesehatan anak-anak, lanjut usia, dan kelompok sensitif lainnya.
Banyak yang sakit
Kondisi udara Jakarta yang memburuk akhir-akhir ini telah berdampak pada kesehatan masyarakat, tak terkecuali anak-anak.
Wilsa Situmorang menjadi salah satu orangtua yang merasakan langsung dampak buruknya kualitas udara di Ibu Kota.
Putrinya yang baru berusia 14 bulan terkena penyakit batuk dan pilek, bahkan mengalami gejala sesak napas.
"Sakitnya itu dari hari Senin pekan lalu," kata Wilsa saat dihubungi Kompas.com, Senin (5/6/2023).
Buruknya kualitas udara Jakarta rupanya juga dirasakan sejumlah warga saat sedang beraktivitas di gelaran Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) atau Car Free Day (CFD) di Jalan Sudirman-Thamrin, Jakarta Pusat, pada Minggu (11/6/2023).
Salah satu pengunjung CFD, Bunga (35), merasa udara Jakarta tidak begitu bersih meski sudah bebas dari kendaraan bermotor.
"Cuma polusi masih terasa, mungkin karena lagi ngebangun (pembangunan) atau dari beberapa busway yang lewat, ntahlah." ujar Bunga kepada Kompas.com di lokasi.
Selain itu, beberapa waktu terakhir, Bunga mengeluh lebih sering merasa gatal pada tenggorokan yang disertai rasa mengganggu pada hidungnya.
"Walaupun kita enggak sakit, cuma kalau lagi jalan enggak pakai masker, pasti ada ngerasa sesuatu yang agak mengganggu tenggorokan, jadi kering, terus hidung jadi kotor," ujar Bunga.
Tak hanya Bunga, Nova (28) juga merasakan hal serupa saat ikut CFD kemarin pagi. Oleh karena itu, ia memilih berlari sambil mengenakan masker saat CFD.
"Jujur karena tau kualitas udara buruk, tadi aku CFD sambil pakai masker, kemarin sempat enggak enak tenggorokan juga," ucap Nova.
Dokter spesialis paru imbau masyarakat pakai masker
Berkait kualitas udara di Ibu Kota yang memburuk, Dokter spesialis paru, Prof. Dr. dr. Agus Dwi Susanto, SpP(K) mengimbau masyarakat Jakarta agar tetap memakai masker saat beraktivitas di luar ruangan.
"Kalau (kualitas udara) masuk kategori tidak sehat maka semua aktivitas di luar ruangan harus menggunakan masker," ucap Dokter Agus saat dihubungi Kompas.com, Jumat (2/6/2023).
Agus mengatakan, penggunaan masker penting untuk melindungi saluran pernapasan dari polutan yang bersifat partikel, termasuk PM 2.5 atau partikel halus yang berukuran 2,5 mikrometer.
Namun, kata Dokter Agus, tidak semua masker bisa menyaring partikel-partikel halus ini.
"Paling ideal masker yang bisa dipakai itu, masker yang memiliki kemampuan filtrasi partikel 95 persen, contohnya masker N95, itu paling bagus," jelasnya.
Sedangkan untuk masker kain dan masker bedah yang kerap digunakan sehari-hari, tidak efektif untuk menyaring partikel polutan.
Mengacu Jurnal Respirasi bertajuk "Peran Masker/Respirator dalam Pencegahan Dampak Kesehatan Paru Akibat Polusi Udara" (1/1/2017), sebuah penelitian di China membuktikan masker kain tidak efektif menyaring PM 2,5, kemampuannya di bawah 50 persen.
Sedangkan masker bedah, tidak bisa menutupi hidung dan mulut dengan sempurna karena terdapat celah di keempat sisi masker tersebut.
"Tapi kalau tidak ada masker N95, penggunaan masker bedah biasa seperti yang kita gunakan, yang biru hijau itu sebenarnya tidak apa, masih bisa memfiltrasi 50 persen partikel," terang Dokter Agus.
Namun, bila status indeks kualitas udara di suatu daerah tidak sehat dan berwarna merah, Dokter Agus tetap menyarankan agar masyarakat menggunakan masker N95 saat beraktivitas di luar ruangan.
(Penulis: Tria Sutrisna, Wasti Samaria Simangungsong | Editor: Irfan Maullana, Jessi Carina, Icha Rastika).
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/06/12/11332891/saat-aturan-wajib-pakai-masker-dicabut-tapi-kualitas-udara-di-jakarta