Ia berangkat ke Ibu Kota setelah memutuskan tak melanjutkan pendidikannya ke jenjang SMP. Di usianya yang masih belia, ia pergi merantau demi mencari sesuap nasi di Jakarta.
"1988 (merantau ke Jakarta), saya masih usia 13 tahun. Ya cari kerja di Jakarta," ungkap Supriyadi saat ditemui Kompas.com di Sunter Jaya, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (8/9/2023).
Setibanya di Jakarta, Supriyadi bekerja serabutan. Perusahaan, toko kecil, hingga rumah pribadi ia sambangi satu per satu.
Ia tak peduli berapa besar upah yang didapatkan. Yang terpenting, ia bisa mendapatkan pekerjaan, lalu mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.
"Waktu tahun segitu (1988), saya kerja di rumah, siram tanaman, cuci mobil. Bayarannya saja masih Rp 25.000 per bulan," kata Supriyadi.
Ia pun bahagia bisa mendapatkan uang dari hasil keringat sendiri, meski jumlahnya tak seberapa.
Beberapa tahun kemudian, Supriyadi mencoba merantau ke Sumatera. Di "Pulau Emas" itu, ia juga bekerja serabutan. Ia melakukan pekerjaan apa pun selama itu menghasilkan uang.
"Tahun 1994 atau 1995, saya pernah bekerja di Palembang (Sumatera Selatan) menjadi penebang tebu, lalu ke Lampung juga, tapi hasilnya ya sama saja," ucap Supriyadi.
Pada akhirnya, Jakarta tetap menjadi tujuan akhir Supriyadi mengadu nasib di perantauan.
Selain karena peluang mendapat uang lebih menjanjikan, ongkos pulang kampung dari Jakarta pun lebih terjangkau.
"Daripada jauh-jauh, lebih baiknya mending di Ibu Kota. Kalau di Ibu Kota, ongkos pulang kampung enggak begitu mahal. Zaman dulu, Sinar Jaya masih Rp 6.500 untuk ke Wonosobo," kata dia.
"Seberat-beratnya kerja di kampung menjadi kuli, lebih ringan di Ibu Kota. Ibaratnya, kalau di sini, barang bekas pun bisa jadi duit, asal ada kemauan dan kreatif," imbuh Supriyadi.
Jatuh bangun Supriyadi
Sejak merantau, perjalanan Supriyadi tidak selamanya mulus.
Ia pernah menganggur. Saat tidak memiliki pekerjaan, Supriyadi rela bermalam di jalanan ataupun mushala. Sebab, sisa uangnya tidak cukup untuk mengontrak rumah.
"Enggak mempunyai tempat tinggal yang menetap. Jadi, misalnya kerja serabutan, terus pekerjaan sudah selesai, mau ke mana? Ya ke jalanan, tidur di sana-sini," ucap dia.
Pada suatu waktu, Supriyadi kebingungan karena tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Ia pun harus menahan lapar karena tak punya uang.
Dalam keadaan seperti itu, otaknya terus memikirkan cara agar bisa mendapatkan pekerjaan.
Jalan demi jalan dilaluinya. Ia berjalan kaki dari wilayah Sunter ke Pulogadung, Jakarta Timur. Beruntung, sesekali ia mendapatkan tumpangan.
"Sampai di Pekayon, Bekasi, cari kerjaan. Ditanya orang, pedagang Soto Betawi, mungkin saya dilihat sudah pucat dan kelaparan, saya disuruh masuk ke warungnya dan akhirnya bekerja sama dia," tutur Supriyadi.
Kini, pengalaman jatuh bangun di Ibu Kota puluhan tahun lalu itu menjadi kenangan yang ia simpan di lubuk hati terdalam.
Supriyadi sudah hidup bahagia bersama keluarganya di sebuah rumah wilayah Sunter Jaya.
Identitas di Kartu Tanda Penduduk (KTP)-nya juga telah berganti dari warga Wonosobo menjadi Sunter Jaya.
Meski pekerjaan menjadi kuli bangunan terkadang sepi pelanggan, ia tetap mensyukuri nikmat yang telah diberikan Tuhan.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/09/08/16035161/jatuh-bangun-supriyadi-mengadu-nasib-di-jakarta-puluhan-tahun-lalu