Edi menyebutkan, kualitas barang yang ia jual terlalu tinggi apabila dijual di toko daring. Sementara itu, pedagang di pasar daring memasang harga terlalu murah.
"Kalau di online itu kan barang-barang low-end, barang-barang murah. Kalau kami di sini barang impor. Barang impor atau barang premium, jadi kalau kami live (jual melalui siaran langsung), itu orang skip (lewat) doang," ujar Edi kepada Kompas.com di Pasar Tanah Abang, Rabu (13/9/2023).
"Kalau (berdagang) barang impor (di live medsos), kami diketawain oranglah ketika pasang harga (tinggi). Enggak masuk," lanjut dia.
Ia mencontohkan, satu buah baju anak dengan kualitas premium biasa dijual dengan harga Rp 125.000-Rp 150.000.
Jika dibandingkan dengan barang yang dijual melalui fitur siaran langsung di media sosial, harga baju premium tersebut bisa dua kali lipat lebih mahal.
Perbedaan harga barang impor kualitas premium dan barang yang dijual melalui media sosial pun akan sangat terlihat. Pertimbangan itulah yang membuat Edi memilih tidak berdagang lewat media sosial.
"Kami enggak berani masuk online karena modal barangnya saja, kami sudah tinggi," kata dia.
Edi sendiri tidak memiliki pilihan lain selain bertahan di Pasar Tanah Abang meski kini penjualannya terus menurun drastis.
Ia bahkan telah memiliki rencana untuk pulang ke kampung halamannya di Sumatera Barat apabila kondisi di Pasar Tanah Abang tak kunjung membaik.
"Tinggal tunggu saja. Kalau sanggup terusin, kalau enggak ya pulang kampung. Yang orangnya (pedagang) masih di sini berarti masih kuat. Tapi kalau toko-toko yang sudah tutup ini sudah enggak kuat," ucap Edi.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/09/13/19520381/tak-jualan-di-medsos-pedagang-pasar-tanah-abang-nanti-ditertawakan-karena