Menurut Poengky, aparat penegak hukum perlu pendekatan preventif dibanding represif untuk membubarkan massa.
Sebab, cara represif bisa merugikan masyarakat yang tak bersalah.
"Jika hanya mereka yang dibubarkan yang terdampak, tak masalah. Tetapi, kalau dampaknya terkena masyarakat awam, terlebih jika anak-anak yang terkena, besar kemungkinan menimbulkan trauma berkepanjangan dan polisi akan disorot tidak proporsional dalam menggunakan kekuatan," jelas Poengky kepada Kompas.com, Jumat (22/9/2023).
Poengky menilai, pendekatan represif juga malah akan menimbulkan kepanikan di kelompok massa. Tindakan represif aparat bahkan dianggap berisiko memicu kericuhan jauh lebih besar.
"Gas air mata sebaiknya digunakan secara selektif dengan mempertimbangkan risiko mengenai pihak-pihak lain yang tidak terlibat, terutama lansia, perempuan, dan anak-anak, perlu dijaga agar tidak ikut terdampak," ucap dia.
"Kami berharap, jika dirasa memunculkan masalah harkamtibmas (pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat), sebaiknya jangan sampai ditunggu besar dan meledak di ruang publik, melainkan segera dibawa ke kantor polisi untuk dapat diselesaikan di sana," lanjut Poengky.
Sebelumnya diberitakan, bentrokan antar-ormas terjadi di Jalan Raya Setu-Bantargebang, Rabu (20/9/2023) malam. Dalam bentrokan itu, satu orang berinisial A (30) tewas.
Aksi massa dipicu oleh penarikan kendaraan yang cicilannya tertunggak. Awalnya kelompok ormas itu bentrok di wilayah Kabupaten Bekasi. Malam harinya, bentrokan kembali pecah di wilayah Kota Bekasi.
Aparat diketahui menggunakan gas air mata untuk membubarkan kelompok yang bentrok.
Seorang warga bernama Euis Puspita Awalia mengaku merasakan perihnya gas air mata yang ditembakkan polisi.
Padahal, saat itu ia bersama tiga anak dan suaminya sedang berada di dalam sebuah restoran cepat saji.
"Sejak di situ memang sudah tercium juga ke dalam. Sudah tercium, sesak juga di situ," jelas Euis, Kamis malam.
Euis mengetahui bahwa bentrokan terjadi sejak Rabu sore. Namun, ia mengira bahwa pada malam hari situasi telah kondusif.
Oleh sebab itu, ia mengajak keluarganya untuk makan malam di restoran cepat saji.
Namun, bentrokan ormas kembali terjadi. Ia bersama pelanggan lain akhirnya tertahan di dalam restoran.
"Kami sama pengunjung yang lain akhirnya berinisiatif enggak boleh keluar. Walaupun sudah selesai makan, ya kami di dalam," ujar Euis.
Situasi yang mencekam membuat perempuan dan anak-anak diminta untuk masuk ke ruangan yang lebih aman. Sementara para pria berjaga dan sesekali ke luar untuk memantau situasi.
Tak berselang lama, para pria masuk ke dalam karena mata mereka perih akibat gas air mata.
"Saya pribadi merasakan, suami, anak-anak juga merasakan adanya gas air mata," imbuh Euis.
Setelah kurang lebih satu jam di dalam dan situasi dinyatakan aman, Euis bersama pelanggan lain memutuskan untuk pulang.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/09/22/16145491/warga-kena-gas-air-mata-saat-bentrokan-ormas-di-bekasi-kompolnas-bisa