TANGERANG, KOMPAS.com - Anto (52), meluapkan keluh kesahnya sebagai kernet bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP).
Warga Tegal, Jawa Tengah itu telah menjadi kernet bus AKAP Sejak 2015.
Anto mengaku penghasilannya tidak menentu. Upahnya tergantung dengan sopir yang menjadi teman perjalannya ke sebuah tujuan.
“Kalau sopirnya kasihan atau baik, ya dikasih Rp 250.000 atau Rp 300.000. Kalau sopirnya kayak bajingan semua, paling Rp 150.000,” kata Anto saat berbincang dengan Kompas.com di sebuah warung kopi, Dadap, Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu (24/1/2024).
“Dia (sopir rata-rata) penginnya duitnya yang gede. Kernet (bagi sopir) mah masa bodoh,” ucap Anto sambil menggelengkan kepala.
Sebelum menjadi kernet, Anto merupakan seorang pedagang kain di Terminal Tegal. Namun, ia memutuskan untuk alih profesi karena pembeli kian sepi.
Sepinya pembeli di Terminal Tegal selaras dengan pengamatan Anto terhadap sistem pemberangkatan bus.
“Misalnya, ada 5 bus ngetem (di Terminal Tegal). Penumpangnya itu ada 3 orang, ada yang 1 orang, ada yang kosong. Nah, itu digabungkan semua. Penumpangnya hancur (sepi). Saya yang jualan, cari uang Rp 10.000 saja susah. Akhirnya saya jadi kernet, ikut tema satu desa,” ungkap Anto.
Dalam obrolan warung kopi ini, Anto juga menjelaskan mengenai tugas-tugas pokok sebagai seorang kernet.
Di Terminal Tegal, Anto hanya melakukan pengecekan dengan mengambil karcis-karcis dari penumpang.
“Nanti (karcisnya) kasih pengurus, lalu berangkat. Entar kalau di jalan dapat tiga penumpang, ya ambil duitnya, terus kasih sopir,” ujar Anto.
Setelah sampai tujuan, misal kawasan Dadap, Anto bersama sopir tidak langsung kembali ke Terminal Tegal. Mereka menunggu penumpang sampai keesokan harinya.
“Kita rutenya dari Tegal, masuk Cipali, Grogol, Cengkareng, Kamal Muara, Dadap. Terus, ngetem. Kalau enggak ada penumpang, ya kayak begini, nge-pool, enggak pulang,” ujar Anto.
“Ya kalau misalnya cuma dapat dua atau tiga penumpang bagaimana? Entar pengurusnya enggak berani nombok. Ya syukur-syukur ada 10 lebih, bisa pulang. Kalau penumpangan cuma dua atau tiga, ya di sini lagi. Iya, enggak (pulang),” lanjutnya.
Jika mendapatkan penumpang banyak, mereka langsung bergegas. Tugas Anto sama seperti di Terminal Tegal, melakukan pengecekan. Jika ada penumpang di tengah jalan, ia mengambil uang lalu memberikan kepada sopir.
Setiba di Terminal Tegal, Anto harus merapikan bus. Ia memungut sampah penumpang yang tersisa dan menyapu sampai bersih. Setelahnya, dia baru bisa menerima upah dalam satu kali perjalan pulang dan pergi.
Tetapi, tugas Anto tidak sampai situ saja. Saat matahari terbit, ia harus mencuci bus sebelum akhirnya digunakan oleh sopir lain.
“Waktu baru-baru jadi kernet, ya semangat. Setelah narik, sampai Terminal 03.00 WIB, langsung nyuci saya. Tapi lama-lama saya kena penyakit, keluar darah. Saking capeknya kali ya. Pas diperiksa, kecapean katanya,” imbuh Anto.
“Saya berpikir, ya karena besoknya libur, mending cuci pagi saja. Kan enak, soalnya sudah tidur. Kira-kira jam 08.00 WIB. Nanti jam 12.00 WIB sudah bersih semua. Besoknya lagi, ngetem lagi (di Terminal Tegal),” tambahnya.
Anto yang rumahnya tidak jauh dari Terminal Tegal itu berujar, ia bisa saja membayar orang untuk mencuci bus. Kendati demikian, hal tersebut tergantung upah yang diterima dari sang sopir.
“Kalau bayarannya sampai Rp 300.000, buat cuci Rp 50.000, ya masih sisa Rp 250.000, mending, masih menutup (kebutuhan sehari-hari). Nah, sekarang Rp 150.000, buat bini Rp 130.000, Rp 20.000 itu buat ngopi dan ngerokok, ya habis. Besoknya kayak gitu,” tutur Anto.
Menurut dia, uang Rp 100.000 pada zaman sekarang bukan nominal yang besar.
“Belum anak sekolah. Coba saja hitung, Rp 130.000, paginya buat sarapan satu keluarga, sangu anak, sorenya yang lain, ya habis. Duit Rp 100.000 mah enggak ada apa-apa. Cuma, kita kayak gitu saja, enggak naik-naik (upahnya), heran,” kata Anto.
Kondisi penghasilan tidak menentu dan entah pulang kapan sudah Anto jalani selama bertahun-tahun.
Meski sudah bersyukur karena masih diberikan rezeki oleh Sang Pencipta, Anto tidak bisa menutupi beban sebagai kepala keluarga.
“Rumah saya sering banjir. Atapnya masih pakai bambu. Mau diperbaiki, duitnya enggak ada, kan susah. Kalau kumpulin duit, paling habis buat makan doang. Kayak ini (kernet), PP, enggak ada penumpang, sampai dua hari dua malam. Paling dapat bayaran Rp 150.000. Itu belum nyucinya. Belum kecukupan,” kata Anto.
“Penginnya (kembali) jualan, cuma kita modalnya bagaimana ya? Sekarang banyak orang susah. Kalau di Jawa, ekonominya parah. Yang (merantau) dari Jakarta saja sudah pada pulang,” ucap Anto lagi.
Lagi-lagi, Anto tetap bersyukur. Ia hanya bisa merapalkan doa kepada Tuhan agar tetap diberikan kesehatan supaya bisa mencari nafkah untuk keluarganya.
https://megapolitan.kompas.com/read/2024/01/25/15250051/keluh-kernet-bus-akap-sekali-perjalanan-dapat-rp-150000-tapi-tak-tahu