DEPOK, KOMPAS.com - Tidak ada pintu utama di Pondok Pesantren Khoirur Rooziqiin di Beji, Depok yang bisa dipakai untuk akses keluar masuk yang layak.
Adanya hanya pintu-pintu kecil yang tersebar di beberapa titik.
Salah satu santri di pondok pesantren itu, Salman (16), mengungkapkan berbagai kesulitan yang dialami akibat ketiadaan akses itu.
Salman menceritakan, beberapa santri kelas 7 SMP sering kesusahan setiap memesan makanan via ojek online (ojol) sebab titik lokasi ponpes selalu keliru.
"Misalnya yang saya pernah dengar sendiri, mereka kan masih sering pesan GoFood lewat orang tuanya. Nah, pesanan makanannya nih muter-muter, lama untuk sampai, titik alamatnya nyasar terus," kata Salman saat berbincang dengan Kompas.com, Selasa (12/3/2024).
Salman menjelaskan, mereka akhirnya harus beberapa kali meminta orang tuanya untuk mengarahkan ojol secara manual untuk sampai di titik pintu akses yang dimaksud.
"Jadi kalau ke sini harus nanya-nanya warga setempat," ucap Salman.
Hal tersebut juga terjadi pada kurir paket yang membawa paket para santri ke ponpes.
"Tukang antar paket juga sama persis kayak abang GoFood," tutur Salman.
Bahkan, Salman menyebutkan, di beberapa kondisi, kurir paket sering mengeluh karena tak kunjung menemukan titik tepat alamat pondok pesantren tersebut.
Sedangkan untuk Salman sendiri, dirinya mengaku jarang memesan makanan via online dan menerima paket kiriman dari kurir.
"Karena rumah saya dekat, di Cimanggis jadi jarang sih minta kirim paket kayak gitu. Lalu, saya juga memang sudah terbiasa jarang pesan makanan online," imbuhnya.
Pelik kisah di balik ketiadaan akses
Ketua Pondok Pesantren Khoirur Rooziqiin, Ali Murthado mengatakan bahwa nihilnya akses jalan utama di pondok mereka bermula dari tembok yang dibangun warga sekitar.
Pembangunan tembok disebabkan oleh lahan pondok yang dulunya merupakan area pemancingan.
"Sebelumnya, lahan di sini belum ada apapun, hanya tanah biasa. Di sini ada pemancingan, peternakan ikan. Maka mereka (warga) menutup akses atas nama keamanan," kata Ali kepada Kompas.com, Senin (4/3/2024).
Ali mengungkapkan, pesantren yang dikelolanya tidak pernah punya akses utama sejak awal pondok berdiri pada 2019.
Menurut keterangan Ali, pihak pondok dan warga Rawa Maya, Beji, sempat berdiskusi membahas harga tanah untuk pembangunan akses.
"Dari warga Rawa Maya, kami dikasih waktu beberapa bulan. Mereka bilang, kalau mau beli tanah (untuk akses jalan), maka warga akan buka akses jalan," ungkap Ali.
Akan tetapi, warga meminta pihak pesantren membeli seluruh tanah tersebut yang berkisar 500 meter persegi.
"Kami ingin beli tapi hanya untuk jalan, tapi tidak diperbolehkan dan harus satu paket dengan lahan tanah luas itu," tutur Ali.
Hal itu lah yang kemudian memberatkan karena modal yang perlu dikeluarkan mencapai Rp 2,7 miliar.
Oleh sebab itu, dirinya sebagai ketua pondok masih berupaya menemukan titik tengah dengan mengandalkan hukum.
"Kami berpegang pada Pasal 667 dan 668 KUH Perdata yang menyatakan, kalau ada tanah yang terkurung, maka wajib diberikan jalan. Dari mana? dari jalan yang terdekat ke jalan raya," tambah Ali.
Dari isi pasal tersebut Ali menyimpulkan, jarak terdekat dari pesantren menuju jalan besar berada di sisi timur atau Perumahan Caltek.
"Ketika akses terkurung, kita perlu diberikan akses jalan dan dibukakan dari pekarangan yang paling dekat dengan jalan besar. Kami berpikir, jawabannya adalah Perumahan Caltek yang ada di sisi timur pondok," ucap Ali.
Di samping itu, Ali mengharapkan Pemkot dapat terlibat untuk membantu menyelesaikan duduk perkara ini.
"Minta tolong, minimal datang ke sini dan lihat permasalahannya. Kami hanya meminta supaya pihak pesantren punya akses jalan sendiri," ungkap Ali.
https://megapolitan.kompas.com/read/2024/03/13/05570071/kisah-keseharian-santri-di-ponpes-depok-yang-tak-punya-gerbang-utama