JAKARTA, KOMPAS.com - Sudarman (68), salah satu marbut Masjid Al-Falaah Manggarai, Jakarta Selatan (Jaksel), mendapatkan gaji Rp 300.000 per bulan.
Menurut dia, upah tersebut masih belum cukup memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
"Waktu marbutnya masih dua dikasih Rp 600.000 per bulan buat berdua, sedangkan dari DMI (Dewan Masjid Indonesia) satu orang Rp 1,5 juta per enam bulan," tuturnya ketika diwawancarai oleh Kompas.com, Selasa (19/3/2024).
Meski begitu, menurut dia, upah bukan segalanya. Ia percaya bahwa rezeki bisa datang dari mana saja.
"Kalau dibilang cukup ya enggak cukup. Tapi, alhamdulillah pasti ada aja lah, dari anak ada, kalau ada rezekinya pasti dia ngasih datang bawa makanan juga," sambung dia,
Sudarman juga menjelaskan, meski pendapatannya tak seberapa sebagai seorang marbut, ia tak mau menikmati sendiri gajinya.
Selain untuk biaya makan sehari-hari, Sudarman menggunakan gaji tersebut untuk berbagi dengan cucu-cucunya atau tambahan modal warung sederhananya.
"Paling anak-anak kalau lagi jajan aja, kalau saya ada rezeki paling beliin makanan dari pasar kayak ayam buat dimakan bareng-bareng, Rp 50.000 buat bareng-bareng," ucap dia.
Saat ini, Sudarman tinggal seorang diri di rumahnya. Sang istri sudah meninggal akibat hipertensi, sementara kedua anaknya sudah memiliki rumah masing-masing.
Dari gaji yang ia terima, sebagian digunakan untuk membayar listrik Rp 120.000 per bulan.
Ia mendapatkan air gratis dari RT setempat.
"Listrik saya bayar sendiri Rp 120.000 per bulan, kalau air dari RT gratis karena mungkin saya sudah tua jadi enggak ditagihin iuran lagi," kata dia.
Meski begitu, anak kedua Sudarman bernama Mulyadi masih menjamin biaya kehidupan sang ayah meski tak sepenuhnya.
Sepekan sekali, anak laki-lakinya itu berkunjung ke rumahnya.
Selain membawa makanan untuk sang ayah, Mulyadi juga memberi uang.
"Kalau lagi senggang biasanya dia tiap minggu ke sini ngasih uang paling kecil Rp 300.000," ucap Sudarman.
Memiliki warung sederhana
Di usianya yang tak lagi muda, Sudarman tidak pantang menyerah, dan menggantungkan hidup pada anak-anaknya saja.
Sedari dulu, Sudarman sudah memiliki warung sembako sederhana yang ia bangun bersama almarhumah sang istri di kediamannya.
Namun, saat ini warung Sudarman tidak seramai dulu. Ia mengaku, jika ada yang membeli ia bersedia untuk melayani.
Akan tetapi, jika tidak ada yang membeli satu pun, ia tak ambil pusing.
Karena warungnya tak seramai dulu, pendapatan kotor Sudarman tak sampai Rp 100.000 per hari.
"Pendapatannya Rp 100.000 enggak ada lah namanya sepi, kalau lagi rame baru ada Rp 100.000-an," ucapnya.
Sepinya warung Sudarman karena sudah banyak pesaing di sekitar rumahnya.
Sehingga ia tak mau berharap pendapatannya bisa banyak dari warung sederhananya itu.
"Ditambah lagi saat ini sudah banyak warung yang saling dekat-dekatan. Jadi, saya enggak mengharapkan dari warung," imbuh dia.
Karena hal itu pula, Sudarman berusaha keras mengatur keuangannya agar cukup satu bulan.
Apabila tidak cukup, ia mensyukuri saja dan tak mau berharap dari siapa-siapa.
Namun, berdasarkan pengalamannya, rezeki selalu datang tak terduga.
"Ya alhamdulilllah ada aja, enggak ngarepin dari mana-mana, pasti ada aja yang ngasih makanan, ngasih apa pun," kata Sudarman.
https://megapolitan.kompas.com/read/2024/03/22/16155691/upah-bulanan-tak-cukup-untuk-hidup-marbut-di-manggarai-tapi-alhamdulillah