Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 19/11/2013, 07:30 WIB
Fabian Januarius Kuwado

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com — Ada yang berbeda dari penampilan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo akhir-akhir ini. Beberapa helai rambut di kepalanya memutih. Tumbuh uban di kepala Gubernur.

"Ya, iyalah, ndak disemir," ujarnya saat blusukan beberapa waktu lalu.

Mengutip salah satu blog kesehatan, kemunculan uban dipicu stres berkepanjangan. Stres menyebabkan macetnya produksi pigmen pewarna rambut yang disebut melanin. Melanin ini dihasilkan oleh sel tubuh bernama melanosit. Stres yang terjadi pada seseorang diketahui menghentikan produksi melanosit.

Lantas, apa yang mengganggu pikiran sang Gubernur? Hal itulah yang terungkap di meja makan rumah dinasnya di Jalan Taman Suropati, Nomor 7, Menteng, Jakarta, Senin (18/11/2013).

"Pusing banget saya. Ada 884 saluran penghubung ndak bisa kita apa-apain. Ndak bisa normalisasi, ndak bisa dikeruk. Padahal, sudah masuk ke musim hujan," curhat politisi PDI Perjuangan itu.

Kepusingan Jokowi itu terlontar seusai ia blusukan ke Kali Nipah di Petogogan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Kali itu adalah satu dari 884 penghubung di Jakarta. Kondisi ratusan penghubung itu sama. Mampet karena sampah dan terdapat lumpur puluhan sentimeter serta yang tak kalah bikin pusing adanya permukiman di tepinya.

Endapan lumpur dan sampah mungkin tak begitu jadi persoalan untuk menormalisasi. Namun, keberadaan permukiman warga itu tentu sangat mengganggu jalannya normalisasi. Tak ada celah ke saluran mengakibatkan alat berat pun tak bisa menormalisasinya.

"Tantangan yang paling berat itu memang menggeser yang ada di atas dan pinggir saluran. Teknis normalisasinya mudah," ujarnya.

Berkaca di negara-negara maju, lanjut Jokowi, seluruh saluran penghubung bersih dari permukiman, sampah, serta endapan lumpur. Hal itu terjadi lantaran pemeliharaan dilakukan setiap hari.

"Yang paling benar adalah warga pindah ke rusun, lahan yang dulu ditinggali dibuat ruang terbuka hijau. Salurannya tiap hari dikeruk. Kita alat dredging sudah ada, tapi dipakai di Sunter Utara doang. Karena, itu paling mungkin. Kan sangat disayangkan," tutur Joko.

Keberuntungan menimpa Jokowi di Kali Nipah itu. Persis di tepian saluran, tengah ada penataan kampung deret. Otomatis, rumah warga pun tengah dibongkar sehingga memudahkan normalisasi kali yang saban musim hujan selalu menyebabkan banjir tersebut.

Lantas, bagaimana dengan 883 saluran penghubung yang lain? Jokowi tetap berupaya menormalisasi meski diakuinya belum maksimal. Normalisasi hanya dilakukan di titik-titik saluran yang bersih dari permukiman. Sisanya? Inilah yang jadi persoalan kedua.

"Mau normalisasi, warga harus dipindah. Dipindah ke mana? Wong rusun saja belum ada yang jadi. Tambah pusinglah," ucap Jokowi.

Mau tak mau, kata Jokowi, Pemprov DKI bekerja beriringan. Di satu sisi, Pemprov DKI tetap melaksanakan normalisasi 884 penghubung, tetapi dengan cara manual. Di sisi lain, Pemprov DKI terus membebaskan lahan untuk pembangunan rumah susun sewa atau rusunawa.

Mengubah perilaku warisan dulu

Hal lain yang memusingkannya adalah perilaku buang sampah sembarangan oleh masyarakat di tepi sungai atau saluran tersebut. Fasilitas gerobak sampah sudah ada, tempat sampah lingkungan warga telah diberikan, tetapi warga entah kenapa masih bandel.

Denda Rp 500.000 bagi warga yang tertangkap membuang sampah sembarangan, diakui Jokowi, tidak perlu dilakukan jika kesadaran masyarakat untuk hidup bersih dan sehat telah ada. Jokowi mengaku dalam waktu dekat, dirinya akan menggandeng psikolog Universitas Indonesia untuk ikut serta menyosialisasikan hidup bersih dan sehat masyarakat bantaran sungai dan saluran.

"Masyarakat China butuh waktu tujuh tahun supaya ndak buang ludah sembarangan. Saya sudah ngobrol-ngobrol, kalau di-drill terus, satu atau dua tahun bisalah masyarakat di sungai Jakarta itu ndak lagi buang sampah sembarangan di sungai kita," ujarnya.

Rantai permasalahan tersebut, Jokowi menuding, sebagai akibat dari kebobrokan penerapan birokrasi di masa lalu. Alergi terhadap hal-hal yang berhadapan dengan warga adalah penyakit birokrat. Hasilnya, persoalan di lapangan pun akhirnya dibiarkan menumpuk.

"Ini kan problem yang bertumpuk-tumpuk ndak diselesaikan dari sebelumnya. Harusnya kan periode pertama selesai 10 persen, periode kedua 20 persen, ini ndak, bergunung-gunung," ujarnya.

Bisikan dari sang ajudan yang mengingatkan Jokowi akan agenda selanjutnya memutus curhatan sang Gubernur di meja makannya. Helaan napas panjang dan dalam mengakhiri diskusi Jokowi dengan wartawan terkait persoalan-persoalan di Jakarta Senin siang itu.

"Ayo, kita kerja sajalah yang penting," tutupnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Usai Bunuh Ayahnya, Putri Pedagang Perabot di Duren Sawit Gondol Motor dan Ponsel Korban

Usai Bunuh Ayahnya, Putri Pedagang Perabot di Duren Sawit Gondol Motor dan Ponsel Korban

Megapolitan
Polisi Kantongi Identitas 3 Jukir Liar yang Getok Tarif Parkir Bus Rp 300.000 di Masjid Istiqlal

Polisi Kantongi Identitas 3 Jukir Liar yang Getok Tarif Parkir Bus Rp 300.000 di Masjid Istiqlal

Megapolitan
Pedagang Perabot Dibunuh Anaknya, Pelaku Emosi karena Tidak Terima Dimarahi

Pedagang Perabot Dibunuh Anaknya, Pelaku Emosi karena Tidak Terima Dimarahi

Megapolitan
Pembunuh Pedagang Perabot Sempat Kembali ke Toko Usai Dengar Kabar Ayahnya Tewas

Pembunuh Pedagang Perabot Sempat Kembali ke Toko Usai Dengar Kabar Ayahnya Tewas

Megapolitan
KPU DKI Bakal Coklit Data Pemilih Penghuni Apartemen untuk Pilkada 2024

KPU DKI Bakal Coklit Data Pemilih Penghuni Apartemen untuk Pilkada 2024

Megapolitan
Polisi Tangkap Terduga Pelaku Pembakaran 9 Rumah di Jalan Semeru Jakbar

Polisi Tangkap Terduga Pelaku Pembakaran 9 Rumah di Jalan Semeru Jakbar

Megapolitan
Pastikan Kesehatan Pantarlih Pilkada 2024, KPU DKI Kerja Sama dengan Dinas Kesehatan

Pastikan Kesehatan Pantarlih Pilkada 2024, KPU DKI Kerja Sama dengan Dinas Kesehatan

Megapolitan
Usai Dilantik, Pantarlih Bakal Cek Kecocokan Data Pemilih dengan Dokumen Kependudukan

Usai Dilantik, Pantarlih Bakal Cek Kecocokan Data Pemilih dengan Dokumen Kependudukan

Megapolitan
Pedagang Perabot di Duren Sawit Sempat Melawan Saat Putrinya Hendak Membunuh, tapi Gagal

Pedagang Perabot di Duren Sawit Sempat Melawan Saat Putrinya Hendak Membunuh, tapi Gagal

Megapolitan
Kesal karena Susah Temukan Alamat, Ojol Tendang Motor Seorang Wanita di Depok

Kesal karena Susah Temukan Alamat, Ojol Tendang Motor Seorang Wanita di Depok

Megapolitan
Pemeran Tuyul yang Dibakar Joki Tong Setan di Pasar Malam Jaktim Alami Luka Bakar 40 Persen

Pemeran Tuyul yang Dibakar Joki Tong Setan di Pasar Malam Jaktim Alami Luka Bakar 40 Persen

Megapolitan
Ayah Dibunuh Putri Kandung di Duren Sawit Jaktim, Jasadnya Ditemukan Karyawan Toko

Ayah Dibunuh Putri Kandung di Duren Sawit Jaktim, Jasadnya Ditemukan Karyawan Toko

Megapolitan
Kunjungan Warga ke Posyandu Berkurang, Wali Kota Depok Khawatir 'Stunting' Meningkat

Kunjungan Warga ke Posyandu Berkurang, Wali Kota Depok Khawatir "Stunting" Meningkat

Megapolitan
Pengelola Istiqlal Imbau Pengunjung yang Pakai Bus Kirim Surat Agar Tak Kena Tarif Parkir Liar

Pengelola Istiqlal Imbau Pengunjung yang Pakai Bus Kirim Surat Agar Tak Kena Tarif Parkir Liar

Megapolitan
Jalan di Depan KPU Jakut Ditutup Imbas Rekapitulasi Ulang Pileg, Warga Keluhkan Tak Ada Sosialisasi

Jalan di Depan KPU Jakut Ditutup Imbas Rekapitulasi Ulang Pileg, Warga Keluhkan Tak Ada Sosialisasi

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com