”Saya pernah kehabisan baterai dan harus kasih kabar orang rumah. Cari-cari telepon umum enggak ada yang bisa. Kalau seperti itu, kerasa banget telepon umum masih sangat dibutuhkan. Harusnya masih tetap ada, ya,” ujar Florentina, karyawan sebuah bank swasta di Jakarta.
Benda koleksi
Telepon umum yang pernah berjaya itu kini menjadi benda sejarah. Kartu telepon menjadi koleksi langka. Banyak orang yang memburunya untuk melengkapi seri tertentu, terutama kartu edisi terbatas. Harga kartu telepon pun melonjak. Satu kartu limited edition ditawarkan Rp 500.000 hingga Rp 1 juta.
Olga Lydia, misalnya, mengumpulkan kartu telepon yang pernah ia gunakan. Biasanya, kartu telepon dibuat berseri dan dengan edisi yang terbatas. Ada juga fungsi edukasi dan kandungan nilai sejarah di dalamnya. Sejumlah koleksi masuk edisi terbatas, misalnya Air Show 1996 yang menggambarkan seri pesawat terbang Indonesia.
”Awalnya, saya hanya berpikir sayang kalau kartu telepon yang sudah habis pulsanya dibuang begitu saja. Akhirnya, setiap kartu yang pulsanya nol saya koleksi, terus tukar-menukar sama teman kuliah,” ujarnya.
Olga yang mengoleksi kartu telepon sejak kuliah juga memiliki kartu telepon edisi terbatas dari Australia, Thailand, dan Singapura. Selain berburu sendiri, ia juga titip kepada teman yang ke luar negeri agar membawakan kartu telepon. ”Semua istimewa,” ujarnya.
Selain Olga, Irmawan, warga Denpasar, Bali, juga mengoleksi kartu telepon. Bahkan, ia memasarkan koleksinya melalui situs jual beli di internet. Ada sekitar 80 kartu telepon yang ia kumpulkan pada saat bekerja di Singapura pada tahun 1996.
Menurut sejarawan Universitas Indonesia, JJ Rizal, telepon umum merupakan artefak sejarah, simbol modernitas, simbol kota. Ia memaparkan, Raden Ajeng Kartini dalam surat-suratnya menggambarkan zaman baru diwarnai modernitas yang ditandai dengan perkembangan kereta api, jaringan jalan yang luas, telepon, dan telegraf.
Simbol modernitas, termasuk telepon, semasa penjajahan Belanda kebanyakan menjadi milik kaum elite. Ketika muncul telepon umum, di benak masyarakat luas, telepon bukan lagi simbol elitis. Lalu datang masa ketika orang sudah memiliki telepon pribadi (ponsel). Saat itu telepon umum ditinggalkan dan bahkan tidak dirawat. ”Telepon umum sifatnya tidak personal, tidak individual. Orang tidak merasa memiliki,” ujar Rizal.
Kondisi itu diperburuk dengan kebiasaan sebagian besar masyarakat yang sangat mementingkan tampilan ketimbang fungsi. Keberadaan telepon umum yang kini terkesan dibiarkan mati perlahan-lahan seharusnya tetap dipertahankan. (SF) Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.