"Coba kita lihat, di depan kita itu ada apa. Hujan deras, kan? Kita ngurusi hujan deras ini saja, kok, malah ngurusin survai-survei," kata Jokowi, begitu dia biasa disapa, ketika ditemui wartawan di Balaikota Jakarta, Rabu (8/1/2014). Saat itu, hujan memang turun dengan deras.
Ketika didesak lagi apa komentarnya seputar elektabilitasnya yang semakin meroket dan jauh melewati beberapa tokoh lain, Jokowi hanya tersenyum-senyum kecil. "Ini saya mau keluar, mau ngecek Jakarta karena hujan deras," ujarnya sambil berlalu.
Seperti diberitakan, Jokowi selalu menempati urutan pertama dalam berbagai survei calon presiden (capres). Terakhir, survei Litbang Kompas kembali menempatkannya di urutan pertama, diikuti Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Wiranto, Megawati Soekarnoputri, dan Jusuf Kalla.
Bukan hanya itu, survei berkala Kompas bahkan menunjukkan, elektabilitas Jokowi terus meroket dari 17,7 persen (Desember 2012), 32,5 persen (Juni 2013), hingga terakhir 43,5 persen (Desember 2013).
Meski mendapat dukungan publik sangat tinggi, sejauh ini Jokowi belum dipastikan akan maju sebagai capres atau tidak. Sebab, PDI-P sebagai partai tempat Jokowi bernaung hingga kini belum menyatakan pencalonannya.
Publik "kasmaran"
Pengamat psikologi politik dari Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, memandang saat ini publik sedang "kasmaran" kepada sosok Jokowi. Gubernur Jakarta itu, katanya, mewakili pemimpin harapan publik, segar, dan tidak memiliki dosa politik besar dibandingkan sejumlah kandidat lain yang cenderung "itu-itu saja".
"Kalau pakai teori psikologi, masyarakat sekarang 'kasmaran' dengan Jokowi. Semua serangan terhadapnya tidak akan mempan, bahkan publik akan semakin menyayanginya. Ini membuat elektabilitas Jokowi tidak tertahankan, terutama ketika dibandingkan dengan tokoh-tokoh lama yang pamornya meredup," kata Hamdi.
Menurut dia, elektabilitas Jokowi kian menonjol ketika disandingkan dengan tokoh-tokoh lama yang didaur ulang. Terlebih lagi, tokoh-tokoh itu muncul sebagai kandidat capres lantaran permainan elite partai politik, bukan hasil sokongan publik. Tokoh-tokoh lama itu semakin kehilangan narasi untuk terus hadir sebagai kandidat pucuk pimpinan nasional.
Ketika hampir semua survei menunjukkan temuan sama, yaitu elektabilitas Jokowi tinggi, itu merupakan fakta ilmiah bahwa rakyat memang menginginkan sosok itu menjadi presiden. Ini semestinya membuka mata partai politik dan elite politik tak bisa lagi berpura-pura tidak tahu, menyangkal, atau menghibur diri dengan ilusi kebesaran diri sendiri. Partai politik semestinya berpikir ulang apakah tetap mengajukan nama-nama itu atau membuat terobosan.
"Besar kemungkinan PDI-P akan mengajukan Jokowi sebagai capres. Agak aneh jika partai ini sampai melewatkan kesempatan menang di depan mata, lalu justru berspekulasi mengutak-atik kemungkinan capres lain. Partai-partai lain bisa mempertimbangkan mengajukan capres dari nama-nama baru, muda, dosa politiknya kecil, bersih, dan memberi inspirasi," katanya.
Secara terpisah, Sekretaris Dewan Syura Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Andi M Ramly mengungkapkan, melejitnya elektabilitas Jokowi sangat fenomenal dan mengagetkan. Itu mencerminkan kerinduan masyarakat akan sosok yang merakyat.
Partai lain melirik
Citra itu terkemas dengan baik pada Jokowi yang "kampungan" itu. Kalau fenomena ini berlanjut sampai pemilu presiden dan dia kebagian pulung untuk dicalonkan jadi presiden oleh PDI-P atau gabungan partai, akan sulit bagi capres-capres dari partai lain menandinginya. Termasuk juga capres unggulan PKB, Mahfud MD, yang punya keunggulan integritas dan kejujuran serta ketegasan dibandingkan dengan capres lain saat ini.
"PKB tentu saja mengamati perkembangan ini. Tidak tertutup kemungkinan bagi kami untuk melirik Jokowi. Namun, untuk sementara PKB sudah punya calon unggulan, seperti Mahfud MD, Rhoma Irama, dan Jusuf Kalla. Keputusan akhir nanti diambil setelah pengumuman hasil pemilu legislatif," tuturnya.