Sekretaris RW 01, Rawa Buaya, Jakarta Barat, Suparlan, mengatakan, bantuan makanan cepat saji untuk warga Rawa Buaya mengalir mulai dari pihak kelurahan, kecamatan, lembaga pemerintah, hingga dermawan.
Suparlan yang juga menjadi relawan posko pengungsian RW 01 itu mengatakan, tak sedikit warga atau pengungsi yang kerap memasok bantuan untuk dibawa ke rumah masing-masing. Oleh karena itu, pada saat ada dermawan yang datang, para warga mengeluh kekurangan. Padahal, bantuan selalu datang dan dengan jenis yang seragam.
Suparlan menjelaskan, bantuan seperti susu, selimut, beras, mi instan, dan sembako menjadi incaran warga. Barang-barang itulah yang sering disimpan warga untuk dibawa ke rumah.
"Makanya, di sini banyak menumpuk nasi kotak. Jarang ada yang dimakan," kata Suparlan, saat berbincang dengan Kompas.com, beberapa waktu lalu.
Memasuki pekan kelima, banjir di Rawa Buaya berangsur surut. Warga RW 01 Rawa Buaya terdiri dari 12 RT. Mereka tersebar di empat lokasi pengungsian yang berada di Pasar Sentra Kaki Lima, kantor RW 01, halte transjakarta Jembatan Baru, dan Masjid Baiturrahman.
Di Pasar Sentra ada 600 jiwa yang mengungsi, di Masjid Baiturrahman terdapat sekitar 120 warga, dan di halte transjakarta Jembatan Baru terdapat pengungsi sekitar 64 KK dengan 229 jiwa, di mana 25 di antaranya adalah anak-anak. "Satu yang warga inginkan, ya cuma terbebas dari banjir," ujar Suparlan.
Melihat kondisi tersebut, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menyorot koordinasi antar-unit kerja perangkat daerah (UKPD) dengan warga untuk penyaluran bantuan banjir masih sulit dilaksanakan. Apabila ada koordinasi yang baik, maka korban banjir tidak akan pilih-pilih dengan bantuan yang mereka terima.
"Mereka (pengungsi) itu maunya bantuan bahan mentah, seperti beras segala macam, enggak suka makanan cepat saji. Biar bantuannya bisa dibawa pulang," kata Basuki kepada Kompas.com, Minggu (9/2/2014) malam.
Pria yang akrab disapa Ahok itu mengatakan, sulit menyalurkan bantuan hingga ke tangan yang tepat. Apalagi, penyaluran bantuan tersebut dilaksanakan pada waktu darurat sehingga seluruh pihak harus siap siaga melayani masyarakat. Jangan sampai ada ketimpangan pemberian bantuan antar-satu daerah dengan yang lainnya. Ketimpangan bantuan itu dapat menimbulkan kecemburuan sosial sesama warga.
Ia mengakui, banjir tahun ini lebih lama waktunya, dan lebih menyebar daerahnya. Untuk memudahkan kerja para satuan kerja perangkat daerah (SKPD), UKPD, dan lainnya, pemusatan posko pengungsian diyakini sebagai cara paling ampuh meminimalkan kecurangan distribusi bantuan banjir. Selain itu, pemusatan lokasi pengungsian juga dapat menghemat tenaga relawan.
Basuki memberi contoh, misalnya di Kampung Pulo. Setiap pagi, personel TNI menyiapkan seribu bungkus nasi untuk sarapan. Namun, saat siang, jumlah pengungsinya berkurang. Kemudian pada malam hari bertambah lagi.
"Berarti ini apa? Orang pergi kerja kan? Ada yang numpang makan gratis," jelas mantan anggota DPR Komisi II tersebut.
Sedianya, posko pengungsian akan dipusatkan di Halim dengan kapasitas 1.200 orang, Bumi Perkemahan Cibubur 10.000 orang, dan Perkemahan Ragunan 5.000 orang. Namun, sebelum rencana Basuki terlaksana, banjir di Jakarta berangsur surut.
Di samping itu, tak sedikit penolakan warga atas rencananya tersebut. Selain merepotkan, pemusatan lokasi pengungsi juga membuat warga sulit mengawasi rumah dan harta benda mereka yang terendam banjir. Kebanyakan warga memilih lokasi pengungsian yang dekat dari kediamannya. Begitu surut, dengan mudah, mereka kembali dan membereskan tempat tinggal masing-masing.