JAKARTA, KOMPAS.com — 
Kasus kesulitan mendapatkan perawatan kesehatan masih terjadi. Peserta Jaminan Kesehatan Nasional, Mohammad Ali (16), yang menderita tumor di pembuluh darah, harus bersusah payah sebelum bisa dirawat di RSUP Cipto Mangunkusumo di Jakarta.

Darlis (58), orangtua Mohammad Ali (16), mengatakan, anaknya kini masih dirawat di kamar 710 Gedung A RSUP Cipto Mangunkusumo. Ali menderita sakit tumor di pembuluh darah belakang hidung. Tumor juga sudah mulai turun ke tenggorokan. Lantaran sakit ini, Ali susah bernapas, terutama saat tidur.

”Sebelumnya, kami pernah diminta pulang setelah dua hari dirawat, tetapi akhirnya saya bertahan sampai anak saya dioperasi. Kalau mau pulang jauh karena rumah kami di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat,” kata Darlis.

Darlis mengaku enggan pulang karena tidak tega melihat kondisi anaknya yang sulit bernapas. Sementara jadwal operasi belum bisa dipastikan. Ali dirawat dengan jaminan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Jaminan ini dibutuhkan karena Darlis yang sehari-hari bekerja sebagai petani tak punya uang untuk membiayai seluruh pengobatan putranya.

Heriawan Soejono, Direktur Utama RSUP Cipto Mangunkusumo, membantah adanya penelantaran pasien Ali.

”Kami harus menangani pasien dari 33 provinsi dengan alat yang tersedia. Karena itu, kami harus mendahulukan pasien kritis yang harus mendapatkan penanganan segera, sedangkan pasien ini sudah melewati masa akut. Kami tetap akan memprioritaskan operasi pada saat pertama, begitu jadwal kamar operasi kosong,” kata Heriawan saat dikonfirmasi lewat telepon.

Rumah sakit, menurut Heriawan, tidak mengusir pasien meskipun indikasi rawat pasien tak ada. Kediaman pasien sangat jauh sehingga jika jadwal operasi tiba, pasien dikhawatirkan harus menempuh jarak jauh.

Terkait BPJS, klaim yang diajukan bulan Januari tidak bermasalah. Sesuai kesepakatan awal, pembayaran klaim dilakukan 50 persen di awal klaim. Sisanya dibayarkan setelah proses verifikasi. ”Memang ada tempo pembayaran klaim. Ini disebabkan ada proses verifikasi agar pemerintah membayarkan apa yang harus dibayarkan. Tetapi, begitu verifikasi selesai, pembayaran langsung dilakukan dalam 14 hari kerja,” katanya.

Saat ditanya tentang utang asuransi, Heriawan mengaku tidak dalam kapasitas untuk menjawab persoalan ini.

Penanganan tidak jelas

M Ihsan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia mendampingi Ali saat pertama kali datang ke Jakarta, 3 Februari 2014. ”Waktu kami dampingi, saya harus bilang dulu kalau saya ini petugas. Baru bisa masuk IGD. Terus saya tinggal cari parkiran, saya lihat lagi Ali masih di ruang duduk IGD. Alasannya harus urus administrasi dulu. Setelah saya marah-marah, baru akhirnya Ali dapat perawatan,” katanya.

Menurut Ihsan, Ali dan orangtuanya dulu peserta Jamkesda. Namun, menunggu proses transisi ke BPJS, pengobatan Ali mundur sekitar satu bulan hingga Februari. Setelah sampai di RSCM, ternyata kartu BPJS Ali belum berlaku.

”Saya cek, ternyata jenisnya kartu BPJS Mandiri yang harus bayar iuran asuransi per bulan. Ya sudah, kami bantu bayar selama dua bulan sehingga akhirnya bisa dirawat,” kata Ihsan.

Masalah ternyata tak berhenti di sana. Untuk mendapatkan ruang rawat inap saja, Ali harus diperjuangkan lagi karena petugas setempat berkali-kali mengatakan ruangan penuh. Ali sempat harus dipulangkan. Satu-dua hari kemudian hidungnya kembali berdarah.

Dari hasil diskusi dengan Kementerian Kesehatan, Ihsan mendapat informasi bahwa memang ada masalah dalam pembayaran klaim biaya dari rumah sakit. Mungkin rumah sakit memang berbeda sikap dalam melayani pasien BPJS. Namun, masalah ini tidak ada kaitan dengan pasien yang telah membayar iuran. Tidak pernah boleh ada sikap pelayanan berbeda terhadap pasien BPJS, terlebih ini adalah program nasional. (ART/NEL)