Bagaimanapun Jakarta sekarang, kota ini tetaplah menjadi gula-gula bagi jutaan semut yang datang dari seluruh penjuru Indonesia. Ya, karena Jakarta adalah lampu yang benderang, maka mereka yang bersayap dan merayap berkumpul di sini. Sebab, di balik yang gemerlap selalu tersembunyi yang gelap, maka mereka yang samar dan yang mengendap juga ada di sini. Laron, cicak, semut, tikus, kecoa, ular, lipan, lebah, kumbang, bergabung di sini, untuk memburu dan diburu, untuk menyapu dan disapu, untuk berdiskusi dan berorasi, untuk bermimpi dan berilusi, dan tentu saja untuk berpesta juga berdoa.
Jakarta adalah juga arena permainan terbesar di negeri ini. Mereka yang berkuasa dan pintar bisa hidup nyaman dengan menguasai lahan-lahan permainan yang berserakan di segala penjuru; mulai dari Senayan, kawasan Monas, Cengkareng, Tanjung Priok, Kuningan, Blok M, Pasar Senen, Glodok, dan tempat-tempat lainnya.
Tetapi, bagi mereka yang papa dan tak berdaya, Jakarta adalah labirin yang menyesatkan. Melingkar-lingkar tanpa ujung tanpa pangkal, di dalamnya bertumpuk segudang masalah yang susah diurai, mulai dari soal banjir, kemacetan, sampah, kemiskinan, dan pengangguran.
Jadi, apalagi yang bisa diharap dari Jakarta? Iwan Fals bilang, "Jakarta sudah habis, Jakarta sudah habis...."
Ssssttt..., tetapi kawan saya pun bilang, "Iwan Fals juga sudah habis, karena keasyikan jualan kopi."
@JodhiY
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.