Akan tetapi, berdagang di kawasan Monas tak semudah yang ia bayangkan. Selain harus siaga jika terkena razia, omzetnya menurun sejak lokasi berdagang untuk para PKL dibatasi. "Dulu, kalau jualan di dalam Monas, bisa dapat Rp 1.300.000 pas lagi ada acara. Sekarang cuma dapat Rp 100.000-Rp 200.000," katanya.
Lebih baik
Sejumlah pedagang yang mendapat tempat di Lenggang Jakarta mengakui nasib mereka kini lebih baik. Yayan (53), pedagang gorengan yang mendapat tempat di Lenggang Jakarta, mengaku, kini ia bisa berjualan lebih nyaman dengan hasil yang lebih pasti.
"Berdagang di Lenggang Jakarta lebih nyaman karena tak harus dikejar-kejar petugas. Dulu, kami dagang sambil ketakutan kalau-kalau petugas tiba-tiba datang. Takut kena penertiban," ujarnya.
Dari berdagang gorengan di Lenggang Jakarta, Yayan bisa mendapat uang Rp 400.000-500.000 per hari. Pada akhir pekan, omzetnya naik menjadi Rp 700.000 per hari. Ia pun tak kesulitan mengurus berkas untuk bisa mendapat kesempatan berdagang di Lenggang Jakarta karena hanya butuh syarat KTP DKI Jakarta dan identitas lengkap lainnya.
"Kami juga mendapat pelatihan. Empat hari di kelas, kunjungan, dan praktik masak," ujarnya.
Pria asal Cirebon, Jawa Barat, itu sudah menjadi PKL sejak 1980-an. Ia tercatat sebagai PKL binaan karena berdagang di kawasan wisata Monas sejak 10 tahun lalu. "Sejak pindah dagang ke tenda, semua PKL didata. Kami juga punya kartu anggota koperasi. Yang ngurus Dinas UMKM," ujarnya.
Yayan bisa berdagang setelah ada kesepakatan membayar sewa Rp 250.000 per bulan dan uang kebersihan Rp 4.000 per hari. Selain itu, pedagang juga wajib menggunakan sistem daring. "Tapi, sampai sekarang kami belum bayar karena baru satu bulan di sini," ungkapnya.
Hal serupa dirasakan Sila (35), pedagang aksesori gawai, yang sudah menjadi PKL sejak 2008. Sebelum mendapat tempat di Lenggang Jakarta, warga asal Madura itu berdagang secara berpindah-pindah. Barang dagangannya pun berubah-ubah, dari berjualan kopi, jam tangan, kaus, hingga perlengkapan gawai.
Sila pun kerap terjaring razia oleh petugas. "Saya pernah kena razia lima kali. Pernah rugi Rp 3.000.000 waktu jualan jam tangan," ujarnya.
Meski demikian, ada juga pedagang yang mengaku belum beruntung dengan berdagang di Lenggang Jakarta. Yanto (50), pedagang mi, menuturkan, nasibnya tak sebaik pedagang lainnya. Dulu, ia menjadi pedagang asongan air kemasan di kawasan Monas. Namun, pihak Lenggang Jakarta tak mengizinkan dia menjual air kemasan.
Ia pun lalu dipilihkan menu dagang mi kocok. "Di sini masih sepi pembeli. Sehari hanya laku 5-10 mangkuk," ujarnya.
Yanto tidak dikenai biaya sewa untuk area dapur dan kursi pengunjung. Akan tetapi, ia dikenai potongan 30 persen untuk setiap porsi. Dengan begitu, ia menjual satu mangkuk mi kocok seharga Rp 21.000. "Sebaiknya, sih, dijual Rp 15.000 biar enggak terlalu mahal. Tetapi, kalau saya jual segitu, saya enggak dapat untung. Modal saja sudah Rp 10.000," katanya. (FRO/B08/RAY/RTS)
----------
Artikel ini sebelumnya ditayangkan di Harian Kompas edisi Selasa, 23 Juni 2015, dengan judul "Tak Semua PKL Berniat Berdagang di Lenggang Jakarta".