Penandatanganan ini dinilai melampaui batas kewenangan mereka.
Dalam beberapa kesempatan di Balai Kota Jakarta, Gubernur Basuki menilai aneh karena kontrak kerja sama bernilai miliaran rupiah dan keuangan daerah diubah hanya oleh pejabat sekelas kepala dinas.
Dia menduga perubahan klausul itu menyangkut kewajiban-kewajiban yang tak bisa dipenuhi oleh pihak pengelola TPST Bantargebang.
Selain temuan BPK, Pemprov DKI menuding PT GTJ dan PT NOEI tak memenuhi syarat finansial untuk mendanai rencana investasi sebagaimana tertuang dalam kontrak.
Selain itu, pencatatan keuangan kedua perusahaan dinilai tak transparan dan akuntabel.
Kondisi ini menjadi dasar pelayangan surat peringatan pertama (SP 1) Dinas Kebersihan DKI Jakarta kepada GTJ dan NOEI pada September 2015.
Kini, ketegangan keduanya berupaya dijembatani Komisi D DPRD DKI. Namun, sejauh ini belum ada solusi.
Pemprov DKI mengancam akan melayangkan peringatan kedua dan ketiga, meminta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk mengaudit kedua perusahaan, bahkan memutus kontrak.
Kedua perusahaan itu menyatakan siap diaudit dan merasa telah memenuhi kewajibannya.
Perseteruan kali ini sebenarnya bukan yang pertama. Bahkan, penghentian truk atau penutupan akses menuju Bantargebang pernah terjadi akhir 2001, jauh sebelum Pemprov DKI dan PT GTJ meneken kontrak kerja sama akhir tahun 2008.
Wajar, perputaran uang di kompleks itu terbilang besar, dari sektor informal saja nilainya diduga miliaran rupiah per hari.
Nd (58), seorang pemilik lapak yang menampung sampah pilahan dari 20-30 pemulung, misalnya, mampu menghasilkan sedikitnya Rp 83 juta per bulan.
Itu dari hasil penjualan sampah beraneka jenis plastik yang harganya bervariasi Rp 400-Rp 1.600 per kilogram (kg).