Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Pak Wali Kota "Boncos"...

Kompas.com - 20/01/2016, 15:47 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - "Aduh dia naik duluan," ucap Nur Mahmudi dari balik kemudi angkot D11 jurusan Terminal Depok-Simpang Pal Tugu Depok. Pagi menjelang siang pada Selasa (19/1), angkotnya melintas di Jalan Raya Margonda sebelum persimpangan Juanda, Kota Depok.

Ada nada geregetan dan penyesalan dalam suaranya karena gagal meraih "sewaan" alias penumpang. Orang yang berdiri di pinggir jalan itu naik ke angkot 112 di depannya. Padahal, tinggal 3 meter lagi, angkot yang ia kemudikan sampai di depan calon penumpang itu. Fatoni, yang duduk di sampingnya, mengibur, "Dia mau ke Kampung Rambutan, kali, Pak."

Di dalam angkot Nur Mahmudi saat itu sudah ada dua penumpang yang naik tidak lama setelah angkot itu meninggalkan Terminal Depok. Setelah lewat Persimpangan Juanda, dua penumpang itu turun di pusat perbelanjaan Depok Town Square (Detos).

"Terima kasih, Pak Wali," kata Irma, salah satu penumpang, ketika Nur Mahmudi mengatakan kali ini dia tak perlu bayar ongkos.

Ya, Nur Mahmudi yang menjadi "sopir" angkot D11 siang itu tak lain dan tak bukan adalah Nur Mahmudi Ismail, Wali Kota Depok saat ini. Irma sendiri baru sadar pengemudi angkot itu seorang wali kota setelah dirinya ditanya sang sopir mau turun di mana. Irma pun baru menjawab sambil melihat ke arah Nur Mahmudi setelah dicolek oleh Agustinus yang duduk di sebelahnya.

"Ternyata Pak Wali Kota. Hapal wajahnya karena sering lihat di media," ujar Irma yang hampir sepanjang jalan selalu sibuk dengan ponselnya.

Agustinus sendiri adalah salah seorang pengurus Organda Kota Depok. Ia bersama Fatoni, sopir asli angkot itu, tengah menemani Nur Mahmudi menjadi "sopir tembak" angkot D11.

"Jadi sopir angkot itu harus sabar, harus bisa menahan emosi, harus legawa," kata Fatoni menasihati Nur Mahmudi sebelum menyerahkan kunci kontak mobil angkotnya ke Pak Wali Kota di Terminal Depok.

Harus sabar

Keharusan menerapkan nasihat Fatoni itu dirasakan dan dihayati betul oleh Nur Mahmudi. Termasuk sabar jika hari itu ia boncos alias tidak dapat penumpang. "Dari terminal ke Pal sepi. Untung dari Pal ke terminal lumayan banyak yang menyetop," kata wali kota yang tak lama lagi mengakhiri masa jabatan keduanya.

Dalam perjalanan ke Pal, Nur Mahmudi memang hanya dapat dua penumpang. Ketika memasuki Jalan Komjen M Yasin, seorang ibu menyetop angkotnya. Namun, setelah beberapa saat di dalam angkot, ibu itu sangat terkejut mengetahui sopirnya Pak Wali Kota. Dia pun langsung minta diturunkan.

"Maaf, Pak, saya benar-benar enggak tahu sopirnya Bapak," kata ibu itu sambil tersipu, lalu lari dan naik ke angkot di depan.

Dalam perjalanan dari Pal kembali ke terminal, ada tiga penumpang yang naik, yaitu seorang karyawan yang akan ke Pondok Labu, Jakarta Selatan, serta seorang ibu dan anak balitanya.

Tiga orang berpenampilan seperti mahasiswa batal naik karena mengira angkot sudah penuh. Selain Fatoni dan Agustinus, ada dua wartawan dan empat PNS ikut di angkot. Ketiga calon penumpang itu melengos walaupun Fatoni bilang masih ada tempat duduk.

Perilaku angkot

Selain melihat realitas perilaku penumpang dan kondisi di jalan, kemarin, Nur Mahmudi juga mempraktikkan berbagai perilaku sopir angkot pada umumnya. Misalnya, langsung menghentikan angkot setiap melihat orang berdiri di pinggir jalan.

Sampai-sampai, ada pasangan suami istri yang marah-marah karena kagok terhalang angkot yang berhenti saat hendak menyeberang jalan.

Di satu titik, Nur Mahmudi terlalu menepi saat menurunkan penumpang. Alhasil, saat akan jalan lagi, ban depan angkot menyerempet trotoar.

Setelah menjalani satu rit angkot D11 itu, Nur Mahmudi mengatakan, selain harus memiliki SIM A Umum, sopir angkot juga harus memiliki ketenangan dan kesabaran. "Juga harus cerdik dan punya feeling. Kalau tidak, bisa tidak dapat penumpang," katanya.

Apalagi, kalau saingan di jalur itu banyak karena berbagai trayek angkot juga melewatiya sebagaimana trayek angkot D11 yang bersinggungan dengan sedikitnya lima trayek angkot lain. "Namun, dari keterangan Pak Fatoni bahwa sehari-hari masih dapat Rp 100.000 bersih, masih baguslah. Namun, memang, ke depan, dinas perhubungan harus lebih cermat dalam mengisi jalur. Angkot yang beroperasi di setiap jalur tidak boleh berlebihan," katanya.

Menurut dia, melihat kondisi infrastruktur dan sosial ekonomi masyarakat Depok, ia masih melihat angkot bisa diandalkan sebagai angkutan publik. Dia pun berpendapat, kepemilikan angkot oleh perorangan tetap diperbolehkan. "Kalau kita berpihak pada pemberdayaan ekonomi masyarakat, biarkan angkot dimiliki perorangan. Yang harus kita tingkatkan adalah pengawasan, khususnya terkait kualifikasi pengemudi, termasuk penegakan kedisiplinan mereka," katanya.

Pertanyaannya, mungkinkah angkot berdisiplin?

(RATIH PRAHESTI S)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

[POPULER JABODETABEK] Kebengisan Pembunuh Wanita Dalam Koper | Kronologi Meninggalnya Siswa STIP yang Dianiaya Senior

[POPULER JABODETABEK] Kebengisan Pembunuh Wanita Dalam Koper | Kronologi Meninggalnya Siswa STIP yang Dianiaya Senior

Megapolitan
Daftar 73 SD/MI Gratis di Tangerang dan Cara Daftarnya

Daftar 73 SD/MI Gratis di Tangerang dan Cara Daftarnya

Megapolitan
Taruna STIP Tewas Dianiaya, Polisi Ungkap Pemukulan Senior ke Junior Jadi Tradisi 'Penindakan'

Taruna STIP Tewas Dianiaya, Polisi Ungkap Pemukulan Senior ke Junior Jadi Tradisi "Penindakan"

Megapolitan
Empat Taruna STIP yang Diduga Saksikan Pelaku Aniaya Junior Tak Ikut Ditetapkan Tersangka

Empat Taruna STIP yang Diduga Saksikan Pelaku Aniaya Junior Tak Ikut Ditetapkan Tersangka

Megapolitan
Motif Pelaku Aniaya Taruna STIP hingga Tewas: Senioritas dan Arogansi

Motif Pelaku Aniaya Taruna STIP hingga Tewas: Senioritas dan Arogansi

Megapolitan
Penyebab Utama Tewasnya Taruna STIP Bukan Pemukulan, tapi Ditutup Jalur Pernapasannya oleh Pelaku

Penyebab Utama Tewasnya Taruna STIP Bukan Pemukulan, tapi Ditutup Jalur Pernapasannya oleh Pelaku

Megapolitan
Polisi Tetapkan Tersangka Tunggal dalam Kasus Tewasnya Taruna STIP Jakarta

Polisi Tetapkan Tersangka Tunggal dalam Kasus Tewasnya Taruna STIP Jakarta

Megapolitan
Hasil Otopsi Taruna STIP yang Tewas Dianiaya Senior: Memar di Mulut, Dada, hingga Paru

Hasil Otopsi Taruna STIP yang Tewas Dianiaya Senior: Memar di Mulut, Dada, hingga Paru

Megapolitan
Akhir Penantian Ibu Pengemis yang Paksa Orang Sedekah, Dua Adiknya Datang Menjenguk ke RSJ

Akhir Penantian Ibu Pengemis yang Paksa Orang Sedekah, Dua Adiknya Datang Menjenguk ke RSJ

Megapolitan
Polisi Sebut Ahmad dan RM Semula Rekan Kerja, Jalin Hubungan Asmara sejak Akhir 2023

Polisi Sebut Ahmad dan RM Semula Rekan Kerja, Jalin Hubungan Asmara sejak Akhir 2023

Megapolitan
Praktik Prostitusi di RTH Tubagus Angke Dinilai Bukan PR Pemprov DKI Saja, tapi Juga Warga

Praktik Prostitusi di RTH Tubagus Angke Dinilai Bukan PR Pemprov DKI Saja, tapi Juga Warga

Megapolitan
Keluarga Harap Tak Ada Intervensi dalam Pengusutan Kasus Mahasiswa STIP yang Tewas Dianiaya Senior

Keluarga Harap Tak Ada Intervensi dalam Pengusutan Kasus Mahasiswa STIP yang Tewas Dianiaya Senior

Megapolitan
Pro-Kontra Warga soal Janji Dishub DKI Tertibkan Juru Parkir, Tak Keberatan jika Jukir Resmi

Pro-Kontra Warga soal Janji Dishub DKI Tertibkan Juru Parkir, Tak Keberatan jika Jukir Resmi

Megapolitan
Mahasiswa STIP Tewas Dianiaya Senior, Pengawasan dan Tata Tertib Kampus Jadi Sorotan

Mahasiswa STIP Tewas Dianiaya Senior, Pengawasan dan Tata Tertib Kampus Jadi Sorotan

Megapolitan
Hari Ini, Polisi Lakukan Gelar Perkara Kasus Mahasiswa STIP Tewas Diduga Dianiaya Senior

Hari Ini, Polisi Lakukan Gelar Perkara Kasus Mahasiswa STIP Tewas Diduga Dianiaya Senior

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com